Tuesday, October 27, 2015

TPP, JALUR SUTERA, DAN POROS MARITIM

Pada 17 November 2011, di depan anggota parlemen Australia, di Canberra, Obama mengatakan bahwa seiring diakhirinya perang di Afghanistan dan Iraq, Obama telah memerintahkan team keamanan nasional Amerika untuk menjadikan kehadiran dan misi di Asia Pasifik sebagai prioritas utama. Amerika akan mengalokasikan sumber daya yang dibutuhkan untuk memelihara kehadiran militer Amerika di kawasan Asia Pasifik, termasuk di Asia Tenggara dan Samudera India. Obama juga menyinggung soal Trans-Pacific Partnership (TPP).[1]

TPP adalah perjanjian dagang antara beberapa negara di wilayah lingkar Pasifik. TPP merupakan perluasan dari kesepakatan ekonomi empat negara (Brunei, Chile, Singapura, New Zeland) di tahun 2005 yang bernama Trans-Pacific Strategic Economic Partnership Agreement (TPSEP). Pada tahun 2008, lebih banyak negara Pasifik lainnya yang bergabung hingga berjumlah 12 negara, termasuk Amerika Serikat. Pada tahun 2013, Indonesia disebut-sebut tertarik bergabung dengan TPP,[2] namun kemudian pihak Kementrian Perdagangan era Jokowi menyatakan belum tertarik gabung TPP.[3]

TPP akan menjadi sebuah kesepakatan ekonomi terbesar yang pernah ada di muka bumi, yang mewakili sekitar 40% GDP dunia dan sepertiga total perdagangan dunia. Obama mengatakan bahwa TPP merupakan suatu kesepakatan perdagangan paling ambisius yang akan menjadi satu model bagi seluruh kawasan. TPP juga menggambarkan pergeseran kebijakan luar negeri Amerika, dari orientasi ke Timur Tengah dan Eropa menjadi ke Asia Timur dan Asia Selatan, dengan istilah “rebalance. Administrasi Obama memperkenalkan strategi regional “Poros” ke Asia.

Negosiasi TPP diakhiri pada 5 Oktober 2015 dan saat ini menuju proses ratifikasi di masing-masing negara anggota. Negosiasi-negosiasi TPP itu sendiri dikabarkan berjalan alot selama sekitar 5 tahun terakhir. Draft-draft kesepakatan di dalam TPP dinegosiasikan secara rahasia, tidak terbuka untuk publik.  Namun, sejak tahun 2013, Wikileaks telah membocorkan beberapa teks dari negosiasi-negosiasi rahasia TPP.[4]

Berdasar dokumen yang dibocorkan Wikileaks, di dalam chapter Investment, TPP mengintrodusir investor-state dispute settlement (ISDS), yakni suatu pengadilan supra-nasional di mana perusahaan-persuahaan multinasional dapat menuntut suatu negara ke pengadilan tersebut. Perusahaan multinasional juga dapat memaksa suatu pemerintah untuk membayar kompensasi jika pengadilan ISDS menyatakan bahwa hukum atau kebijakan di suatu negara tertentu berpotensi merugikan keuntungan di masa depan (yang diklaim) perusahaan tersebut. Pengadilan supra-nasional ini akan meningkatkan kekuatan korporasi-korporasi global. Di sisi lain, sistem ini mengancam kedaulatan yudisial dan parlemen negara bersangkutan.

Kesepakatan-kesepakatan yang dicantumkan di dalam chapter Intelectual Property [Rights] TPP berkaitan dengan paten, copyright, merek dagang, dan desain industrial. Kesepakatan-kesepakatan ini bisa mengancam hak asasi individu, kemerdekaan sipil, penerbit, provider layanan internet dan privasi internet. Selain itu juga ancaman bagi milik bersama atas karya kreatif, intelektual, biologi, dan lingkungan. Juga ancaman terhadap akses obat-obatan dan petani kecil terkait paten tanaman.

Pada chapter layanan kesehatan, TPP berusaha mengatur skema negara tentang obat-obatan dan peralatan medis. TPP akan memaksa otoritas layanan kesehatan untuk memberi informasi pada perusahaan-perusahaan farmasi tentang keputusan-keputusan nasional terkait akses publik pada obat-obatan, dan memberi wewenang lebih besar pada perusahaan farmasi untuk menantang keputusan-keputusan yang dianggap merugikan kepentingan perusahaan-perusahaan farmasi tersebut.

Jika dibandingkan dengan chapter-chapter TPP lainnya, chapter Lingkungan tampak istimewa. Pada chapter ini tidak ada klausa-klausa yang diamanatkan dan tidak ada tindakan-tindakan pelaksanaan yang berarti. Mekanisme penyelesaian perselisihan bersifat tidak mengikat. Tidak ada hukuman dan sanksi kriminal yang diusulkan.

Isi surat rahasia pertemuan tingkat menteri TPP Desember 2013 menunjukkan adanya strategi globalisasi dan privatisasi di dalam Kesepakatan TPP yang bertujuan membatasi perusahaan-perusahaan milik negara (state-owned enterprises/SOEs). Perusahaan-perusahaan swasta akan diberi kesempatan untuk dapat menuntut secara hukum perusahaan-perusahaan milik negara ke pengadilan domestik. Suatu negara dapat dituntut oleh negara lain anggota TPP, atau oleh perusahaan swasta dari negara-negara tersebut.

Selama beberapa tahun terakhir ini, negosiasi-negosiasi TPP telah dilangsungkan secara rahasia. Hanya tiga orang dari masing-masing negara peserta TPP yang diperbolehkan mengakses teks lengkap kesepakatan TPP. Sementara itu, sekitar 600 orang “penasihat dagang” diberi hak istimewa untuk mengakses bagian-bagian penting dari teks perjanjian tersebut. Mereka adalah para pelobi yang mengawal kepentingan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat seperti Chevron, Halliburton, Monsanto dan Walmart.

Bagi Amerika Serikat, TPP seolah merupakan pendahuluan bagi suatu kesepakatan rahasia serupa antara Amerika dengan Uni Eropa yang bernama Transatlantic Trade and Investment Partnership (TTIP). Negosiasi TTIP diinisiasi oleh administrasi Obama pada awal 2013. Gabungan antara TPP dengan TTIP akan mencakup lebih dari 60% GDP dunia. Kesepakatan serupa yang ketiga yang melibatkan Amerika Serikat, juga dinegosiasikan secara rahasia, adalah TiSA (Trade in Services Agreement), yang meliputi 50 negara dari kawasan Eropa, Asia, Amerika Utara, Amerika Selatan, Oceania dan Afrika. TiSA diproyeksikan untuk liberalisasi jasa perbankan, layanan kesehatan, dan transportasi. Ketiganya -- TTP, TTIP, TiSA -- akan mencakup lebih dari dua per tiga dari total GDP dunia. Julian Assange menyebut ketiganya berpadu ke dalam grand unified treaty, sebagai “Perjanjian Agung” (Great Treaty) yang oleh Pentagon dinyatakan sebagai inti ekonomi bagi konsep militer Amerika tentang “Poros Asia”.

Meski di kawasan Pasifik, sejauh ini TPP tidak melibatkan Tiongkok. Padahal, Tiongkok, dengan cadangan devisa terbesar di dunia, merupakan negara penting bagi ekonomi global. Pada pidato di depan parlemen Australia 2011, Obama mengatakan akan terus berupaya membangun hubungan kerja sama dengan Tiongkok. Akan tetapi, beberapa kalangan berpendapat bahwa TPP dimanfaatkan oleh Amerika sebagai salah satu alat untuk melemahkan pengaruh Tiongkok. Sementara itu, Bernie Sanders  dan Hillary Clinton -- bakal calon presiden dari Partai Demokrat -- menentang TPP yang diperjuangkan Obama dan menganggap bahwa TPP adalah kemenangan korporasi-korporasi besar.[5]

Tiongkok sendiri hingga saat ini terus membangun kesepakatan-kesepakatan ekonomi dengan negara-negara lain. Misal, kesepakatan ASEAN+3, China-Pakistan Economic Coridor (CPEC), Bangladesh-China-India-Myanmar (BCIM) Economic Corridor, juga BRICS (Brasil, Rusia, India, China, South Africa).

Lebih utama lagi, Tiongkok memiliki One Belt One Road (OBOR), yakni suatu kerangka kerja dan strategi pembangunan yang diinisiasi pada September dan Oktober 2013. OBOR memiliki dua komponen. Pertama, Silk Road Economic Belt (SREB), yang akan menghubungkan Tiongkok, Asia Tengah, Asia Barat dan Eropa melalui jalur  darat. Kedua, 21st Century Maritime Silk Road (MSR), yang akan menghubungkan Tiongkok dengan negara-negara Asia Tenggara, Oceania, Afrika dan Eropa melalui jalur laut. MSR (Jalur Sutera Maritim) pertama kali dikemukakan oleh Presiden Xi Jinping di depan parlemen Indonesia pada Oktober 2013, setahun sebelum Jokowi mengkampanyekan Poros Maritim.[6]

SREB dan MSR, atau OBOR, dapat disebut sebagai peta jalan bagi Tiongkok untuk memperkuat ekonomi dan pengaruh di panggung global. OBOR akan mencakup Asia, Eropa, Afrika Timur, dan Oceania. Tiongkok juga membentuk SRF (Silk Road Fund) yang diiperuntukkan bagi pendanaan pembangunan dan berperan untuk investasi bisnis berkaitan dengan OBOR.

Selain itu, OBOR tentu akan memanfaatkan keberadaan AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank). AIIB ditujukan untuk memberi pinjaman uang bagi pembiayaan proyek-proyek infrastruktur. AIIB sendiri didirikan tahun 2014 serta merupakan alternatif atas keberadaan ADB (Asian Development Bank) yang didominasi Jepang. Indonesia menjadi salah satu dari 57 negara pendiri AIIB, dan, menurut Menteri Keuangan, menjadi donatur terbesar ke-8 di AIIB dengan saham 3,7%.[7]

Dalam rangka mengamankan OBOR, Tiongkok berkepentingan memperkuat militer, terutama armada laut untuk mengamankan Jalur Sutera Maritim (MSR). Menurut data SIPRI (Stockholm International Research Peace Institute), di dalam belanja militer tahun 2014, Tiongkok menduduki peringkat kedua di dunia, sekitar sepertiga dari belanja Amerika Serikat (US$ 610 milyar).[8] Armada militer Amerika dan Tiongkok siap menjelajahi lautan Pasifik, Asia Selatan dan Samudra India.

Pada 5 Oktober 2015, masyarakat Indonesia disuguhi eksibisi dan atraksi militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat perayaan hari ulang tahun TNI. Penampilan Angkatan Laut dan Angkatan Udara tampak mempesona, seolah memantapkan kebijakan Poros Maritim ala Jokowi. Hanya saja, postur belanja pertahanan Indonesia  terpaut sangat jauh di bawah Amerika Serikat dan Tiongkok, sehingga Indonesia tidak bisa dikatakan berada di dalam posisi menandingi kedua negara tersebut secara teknologi militer. Militer Amerika dan Tiongkok diproyeksikan mengamankan jalur internasional kepentingan mereka. Sedangkan militer Indonesia cukup diproyeksikan untuk mengamankan jalur nasional dahulu saja.

Dua poros besar sedang dalam proses pembentukan, yakni Poros Jalur Sutera (OBOR) dan Poros [Asia] Pasifik (TPP). Apakah Poros Maritim Jokowi diproyeksikan sebagai penyambung dua poros tersebut, atau malah akan hancur tergencet di antara dua poros raksasa tersebut? Atau ada alternatif lain? Hal yang perlu diingat adalah bahwa Indonesia berada di tengah pertarungan globalisasi neoliberal.***


Referensi:

[4] Lihat website Wikileaks www.wikileaks.org

No comments:

Post a Comment