Sunday, November 8, 2015

DARI NERUDA TURUN KE JAKARTA


Kamis 5 November 2015 lalu, Kementrian Dalam Negeri Chile mengeluarkan pernyataan pengakuan adanya kemungkinan bahwa Pablo Neruda mati dibunuh. Pengakuan ini membenarkan dokumen Kementrian tersebut yang beredar bulan Maret 2015. Meski belum dapat disimpulkan, namun berbagai pihak merasa yakin bahwa pelaku pembunuhan tersebut adalah rezim Pinochet.[1]


Neruda merupakan penyair Chile pendukung presiden Salvador Allende. Allende terpilih secara demokratis menjadi presiden Chile tahun 1970. Namun, pada 11 September 1973, Jendral Augusto Pinochet meluncurkan kudeta militer dan menggulingkan Allende. Beberapa hari kemudian, 23 September 1973, Neruda meninggal dunia, dikabarkan akibat penyakit kanker. Akan tetapi, beberapa pihak meragukan anggapan kanker tersebut dan menduga bahwa Neruda dibunuh oleh pemerintah Pinochet.

Kudeta yang dilakukan oleh Jendral Pinochet itu sendiri menggunakan nama kode “Operación Yakarta (Operasi Jakarta) dan didukung penuh oleh Amerika Serikat melalui CIA. Penggunaan istilah “Operación Yakarta(Operasi Jakarta) diinspirasi oleh peristiwa keberhasilah Soeharto, dengan dukungan CIA,  menggulingkan Soekarno dan menghancurkan kekuatan kiri di Indonesia di tahun 1965.

Pada saat ini, pemerintah Chile setidaknya menunjukkan kemauan dan keberanian untuk membuka kemungkinan baru terkait fakta sejarah. Pemerintah Chile telah mengakui bahwa ada kemungkinan pihak ketiga yang bertanggung jawab atas kematian Neruda.

Sementara di Jakarta, hingga saat ini, pemerintah Indonesia belum mau mengakui secara resmi adanya pembunuhan masal terhadap lebih dari 500.000 manusia yang terjadi sepanjang 1965-1966 yang dilakukan oleh aparat-aparat negara di bawah Soeharto, terutama dengan menggunakan warga sipil sebagai alat pelaksananya. Bahwa tanggal 10-13 November 2015 ini akan digelar International People’s Tribunal 1965 di Den Haag, Belanda, untuk mengungkap fakta-fakta peristiwa 1965, hal ini adalah soal lain.

Pemerintahan Jokowi tidak sedikit ditopang oleh kekuatan sosial, politik, dan militer yang menjadi pendukung, minimal pendukung pasif, operasi pembersihan kelompok kiri paska 1965. Lebih utama lagi, Presiden Jokowi ditopang oleh kekuatan kapital yang ber-oposisi secara ideologis terhadap kelompok yang dikalahkan paska peristiwa 1965. Apakah Jokowi akan mengorbankan dukungan-dukungan tersebut dengan cara meminta maaf atas peristiwa 1965-1966?

Seusai menjadi inspektur upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya (1/10), Jokowi menyatakan tidak ada pikiran untuk meminta maaf pada para korban dan keluarga korban peristiwa pembunuhan, penyiksaan, pemenjaraan, kekerasan sexual, dan diskriminasi yang terjadi pada tahun 1965-1966 dan setelahnya.[2] Presiden Jokowi hanya berkomentar mengharapkan peristiwa G 30 S PKI tidak terjadi lagi.[3]

Berdasar keadaan tersebut, maka prestasi yang dapat dianggap luar biasa, bila dilakukan, adalah jika pemerintahan Jokowi mengakui secara resmi bahwa peristiwa pembunuhan massal di tahun 1965-1966 merupakan fakta sejarah. Pengakuan resmi tersebut hingga saat ini belum pernah dilakukan pemerintah Indonesia. Peristiwa tersebut tidak ditulis di dalam buku-buku sejarah resmi dari Sekolah Dasar hingga SMA, bahkan perguruan tinggi. Peristiwa pembunuhan massal 1965-1966 dibiarkan tertinggal menjadi misteri yang tabu untuk dibicarakan. Peristiwa tersebut juga ditempatkan di tingkat rumor dan desas-desus yang bisa saja kemudian dianggap tidak ada secara faktawi.

Pemerintahan Jokowi tidak perlu menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar jika Jokowi memang tidak bisa atau tidak mau menentukannya. Pemerintah cukup mencatat secara resmi bahwa pembunuhan massal 1965-1966 memang terjadi, merupakan fakta. Sebagaimana peristiwa Perang Salib (Crusade) di Abad Pertengahan antara Islam dan Kristen yang memang benar-benar terjadi dan dicatat di dalam buku-buku sejarah. Soal apakah pihak Islam atau Kristen yang benar atau salah di dalam perang tersebut adalah persoalan lain. Hingga saat, di dalam buku ajar SD hingga SMA tidak disebutkan adanya peristiwa pembunuhan massal 1965-1966.

Pengakuan terhadap kenyataan adalah syarat pertama untuk dapat menyelesaikan sebuah persoalan. Termasuk mengakui kenyataan adanya keterlibatan CIA di dalam “Operasi Penumpasan G30S/PKI”, sebagaimana keterlibatan CIA di dalam “Operación Yakarta” Jendral Pinochet.

Upaya pengungkapan kenyataan seputar Neruda dan peristiwa 1965-1966 bukan soal dendam. Ini soal fakta sejarah. Tanpa fakta, maka tidak akan ada pengetahuan sejarah. Tanpa fakta, yang ada adalah mitos, dongeng belaka. Tanpa pengetahuan sejarah, peradaban tidak akan berkembang lebih jauh.***

Indonesia, 8 November 2015

Referensi:

No comments:

Post a Comment