“Tulislah setajam pena Anda.
Kami akan jawab setajam pedang kami”. Kalimat ini diucapkan oleh seorang tokoh
pemuda di Yogya kepada beberapa wartawan sekitar lima belas tahun lalu.
Kekuatan psikis dan kekuatan fisik. Fenomena ini juga dapat dibaca sebagai
representasi realitas politik dan perang.
Politik dan perang ibarat dua
sisi dari satu koin yang sama. Kebuntuan politik akan berujung pada pertempuran
di medan perang. Kebuntuan perang akan berujung pada diplomasi politik. Hanya
masalah waktu.
Ketegangan antara Arab Saudi
dan Iran sedang menaik. Peristiwa eksekusi mati ulama Syiah Nimr al-Nimr oleh
Arab Saudi diikuti penyerbuan kantor kedutaan besar Arab Saudi di Iran,
kemudian dilanjutkan dengan pemutusan hubungan diplomatik yang dilakukan
pemerintah Arab Saudi terhadap Iran. Dan seterusnya.
Arab Saudi dan Iran telah
terlibat perang dingin di dalam beberapa dekade terakhir, terutama semenjak
Revolusi Iran 1978-1979. Kedua negara tersebut saling memperebutkan dominasi
pengaruh di kawasan Timur Tengah. Sebelumnya termasuk juga Mesir.
Ketika Jendral Sisi
menggulingkan Morsi dari kursi kepresidenan di Mesir tahun 2013, Arab Saudi
merupakan negara pertama yang secara resmi memberi ucapan dukungan pada
penggulingan tersebut. Sebagaimana dimuat website
Saudy Press Agency (agen berita pemerintah Arab Saudi) tanggal 3 Juli 2013,
Raja Abdullah bin Abdulaziz Al Saud mengirim kawat yang berisi ucapan selamat
kepada Adli Mansour (saat itu merupakan Presiden interim Mesir) juga pada
Jendral Sisi. Di bawah Sisi, Mesir tidak lagi dianggap sebagai ancaman bagi Arab
Saudi. Tidak sebagaimana ketika Mesir di bawah Morsi dengan Ikhwanul
Muslimin-nya.
Di dalam data SIPRI, untuk
tahun belanja 2014, Arab Saudi menempati peringkat yang hampir sejajar dengan
Rusia di dalam anggaran belanja pertahanan, setelah Amerika Serikat dan
Tiongkok. Sedangkan Iran memiliki kemampuan memproduksi senjata nuklir. Arab
Saudi dan Iran sama-sama memiliki latar belakang kekuatan senjata yang cukup
kuat. Kedua negara cukup disegani dan menjadi patron di kawasan Timur Tengah.
Tentu masih ada Israel yang memiliki kekuatan militer dan ekonomi cukup kuat,
namun kurang hegemonik bagi masyarakat Timur Tengah.
Arab Saudi dan Iran
sebenarnya telah terlibat perang di negara-negara lain, dengan korban justru
bukan penduduk Arab Saudi maupun penduduk Iran. Di Syria, Iran mendukung rezim
Bashar al-Assad. Arab Saudi mendukung kelompok-kelompok milisi penentang Bashar
al-Assad. Di Yaman, pesawat-pesawat tempur Arab Saudi melakukan pemboman ke
daerah-daerah pejuang Houthi. Iran mendukung kekuatan politik Houthi.
Akankah pada akhirnya Arab
Saudi dan Iran terlibat perang terbuka di wilayah mereka sendiri, yang dipicu oleh
naiknya ketegangan hubungan kedua negara akhir-akhir ini? Kawasan Timur Tengah,
selain sebagai daerah perlintasan darat ekonomi dunia Barat dan Timur, juga
merupakan deposit terbesar minyak bumi, sumber energi yang masih penting.
Kekacauan di kawasan Timur Tengah berarti pula kekacauan perlintasan ekonomi
dan eksplorasi sumber energi.
Perang terbuka antara Arab
Saudi dan Iran tidak hanya akan mempengaruhi situasi di wilayah Timur Tengah,
namun juga akan mempengaruhi negara-negara lain, terutama negara yang memiliki
penduduk muslim. Perang terbuka yang berujung pada satu pemenang – entah Arab
Saudi ataupun Iran – akan menjadikan pemenang tersebut mendominasi di kawasan
Timur Tengah. Geopolitik Timur Tengah akan berada secara relatif di bawah satu
kendali negara pemenang, meski suara-suara penentang masih akan ada.
Raja Abdullah juga pernah berulang
kali meminta Amerika Serikat untuk menyerang Iran, “cut off the head of the snake”, sebagaimana diperlihatkan kawat tertanggal
20 April 2008 yang dibocorkan Wikileaks. Justru kesepakatan (Joint Comprehensive Plan of Action) tahun
2015 antara Amerika Serikat (tergabung dalam negara-negara P5+1) dan Iran tidak
begitu disukai oleh Arab Saudi, dan Israel.
Saat ini, kecil kemungkinan bagi
terjadinya perang terbuka antara Arab Saudi dan Iran. Negara-negara lain, termasuk
Amerika Serikat, tampaknya juga tidak akan membiarkan pecahnya perang Arab
Saudi-Iran. Perang akan mengganggu lalu lintas ekonomi kawasan dan eksplorasi
energi. Selain itu, Amerika Serikat berkepentingan agar imbangan kekuatan di kawasan Timur
Tengah tetap terjaga, agar tidak ada satu kekuatan yang terlalu dominan di
kawasan tersebut.
Kawasan Timur Tengah saat ini
seolah terbelah menjadi blok Arab Saudi dan blok Iran. Hilangnya salah satu
blok dapat berarti menguatnya blok yang masih tersisa. Bagi Amerika, Iran tidak
boleh kuat. Namun Arab Saudi juga tidak boleh terlalu kuat.
Di sisi lain, tanpa kehadiran
Amerika, menguatnya Iran akan menguntungkan posisi Rusia dan Tiongkok. Iran
selama ini memiliki hubungan lebih baik dengan Rusia dan Tiongkok daripada dengan
Amerika. Amerika tentu tidak mau “ketinggalan kereta”. Keterlibatan di dalam negosiasi
dengan Iran diperlukan untuk mengimbangi pengaruh Rusia dan Tiongkok di Iran.
Pada akhirnya, sebagaimana
perkataan Senator Charles F. Meachum di dalam film “Shooter”: “Tidak ada orang Suni
dan orang Syiah. Tidak ada orang Demokrat dan orang Republikan. Yang ada hanya
orang berpunya dan orang tidak-berpunya”. Perang dan politik merupakan
perwujudan dari pertentangan antara orang berpunya dan orang tidak-berpunya
tersebut. Pena atau pedang hanyalah jenis jalan yang dipilih pada suatu waktu
tertentu.***
No comments:
Post a Comment