Saturday, January 16, 2016

POLITIK DAN PERANG: ARAB SAUDI DAN IRAN


“Tulislah setajam pena Anda. Kami akan jawab setajam pedang kami”. Kalimat ini diucapkan oleh seorang tokoh pemuda di Yogya kepada beberapa wartawan sekitar lima belas tahun lalu. Kekuatan psikis dan kekuatan fisik. Fenomena ini juga dapat dibaca sebagai representasi realitas politik dan perang.


Politik dan perang ibarat dua sisi dari satu koin yang sama. Kebuntuan politik akan berujung pada pertempuran di medan perang. Kebuntuan perang akan berujung pada diplomasi politik. Hanya masalah waktu.

Ketegangan antara Arab Saudi dan Iran sedang menaik. Peristiwa eksekusi mati ulama Syiah Nimr al-Nimr oleh Arab Saudi diikuti penyerbuan kantor kedutaan besar Arab Saudi di Iran, kemudian dilanjutkan dengan pemutusan hubungan diplomatik yang dilakukan pemerintah Arab Saudi terhadap Iran. Dan seterusnya.

Arab Saudi dan Iran telah terlibat perang dingin di dalam beberapa dekade terakhir, terutama semenjak Revolusi Iran 1978-1979. Kedua negara tersebut saling memperebutkan dominasi pengaruh di kawasan Timur Tengah. Sebelumnya termasuk juga Mesir.

Ketika Jendral Sisi menggulingkan Morsi dari kursi kepresidenan di Mesir tahun 2013, Arab Saudi merupakan negara pertama yang secara resmi memberi ucapan dukungan pada penggulingan tersebut. Sebagaimana dimuat website Saudy Press Agency (agen berita pemerintah Arab Saudi) tanggal 3 Juli 2013, Raja Abdullah bin Abdulaziz Al Saud mengirim kawat yang berisi ucapan selamat kepada Adli Mansour (saat itu merupakan Presiden interim Mesir) juga pada Jendral Sisi. Di bawah Sisi, Mesir tidak lagi dianggap sebagai ancaman bagi Arab Saudi. Tidak sebagaimana ketika Mesir di bawah Morsi dengan Ikhwanul Muslimin-nya.

Di dalam data SIPRI, untuk tahun belanja 2014, Arab Saudi menempati peringkat yang hampir sejajar dengan Rusia di dalam anggaran belanja pertahanan, setelah Amerika Serikat dan Tiongkok. Sedangkan Iran memiliki kemampuan memproduksi senjata nuklir. Arab Saudi dan Iran sama-sama memiliki latar belakang kekuatan senjata yang cukup kuat. Kedua negara cukup disegani dan menjadi patron di kawasan Timur Tengah. Tentu masih ada Israel yang memiliki kekuatan militer dan ekonomi cukup kuat, namun kurang hegemonik bagi masyarakat Timur Tengah.

Arab Saudi dan Iran sebenarnya telah terlibat perang di negara-negara lain, dengan korban justru bukan penduduk Arab Saudi maupun penduduk Iran. Di Syria, Iran mendukung rezim Bashar al-Assad. Arab Saudi mendukung kelompok-kelompok milisi penentang Bashar al-Assad. Di Yaman, pesawat-pesawat tempur Arab Saudi melakukan pemboman ke daerah-daerah pejuang Houthi. Iran mendukung kekuatan politik Houthi.

Akankah pada akhirnya Arab Saudi dan Iran terlibat perang terbuka di wilayah mereka sendiri, yang dipicu oleh naiknya ketegangan hubungan kedua negara akhir-akhir ini? Kawasan Timur Tengah, selain sebagai daerah perlintasan darat ekonomi dunia Barat dan Timur, juga merupakan deposit terbesar minyak bumi, sumber energi yang masih penting. Kekacauan di kawasan Timur Tengah berarti pula kekacauan perlintasan ekonomi dan eksplorasi sumber energi.

Perang terbuka antara Arab Saudi dan Iran tidak hanya akan mempengaruhi situasi di wilayah Timur Tengah, namun juga akan mempengaruhi negara-negara lain, terutama negara yang memiliki penduduk muslim. Perang terbuka yang berujung pada satu pemenang – entah Arab Saudi ataupun Iran – akan menjadikan pemenang tersebut mendominasi di kawasan Timur Tengah. Geopolitik Timur Tengah akan berada secara relatif di bawah satu kendali negara pemenang, meski suara-suara penentang masih akan ada.

Raja Abdullah juga pernah berulang kali meminta Amerika Serikat untuk menyerang Iran, “cut off the head of the snake”, sebagaimana diperlihatkan kawat tertanggal 20 April 2008 yang dibocorkan Wikileaks. Justru kesepakatan (Joint Comprehensive Plan of Action) tahun 2015 antara Amerika Serikat (tergabung dalam negara-negara P5+1) dan Iran tidak begitu disukai oleh Arab Saudi, dan Israel.

Saat ini, kecil kemungkinan bagi terjadinya perang terbuka antara Arab Saudi dan Iran. Negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat, tampaknya juga tidak akan membiarkan pecahnya perang Arab Saudi-Iran. Perang akan mengganggu lalu lintas ekonomi kawasan dan eksplorasi energi. Selain itu, Amerika Serikat berkepentingan agar imbangan kekuatan di kawasan Timur Tengah tetap terjaga, agar tidak ada satu kekuatan yang terlalu dominan di kawasan tersebut.

Kawasan Timur Tengah saat ini seolah terbelah menjadi blok Arab Saudi dan blok Iran. Hilangnya salah satu blok dapat berarti menguatnya blok yang masih tersisa. Bagi Amerika, Iran tidak boleh kuat. Namun Arab Saudi juga tidak boleh terlalu kuat.

Di sisi lain, tanpa kehadiran Amerika, menguatnya Iran akan menguntungkan posisi Rusia dan Tiongkok. Iran selama ini memiliki hubungan lebih baik dengan Rusia dan Tiongkok daripada dengan Amerika. Amerika tentu tidak mau “ketinggalan kereta”. Keterlibatan di dalam negosiasi dengan Iran diperlukan untuk mengimbangi pengaruh Rusia dan Tiongkok di Iran.

Pada akhirnya, sebagaimana perkataan Senator Charles F. Meachum di dalam film “Shooter”: “Tidak ada orang Suni dan orang Syiah. Tidak ada orang Demokrat dan orang Republikan. Yang ada hanya orang berpunya dan orang tidak-berpunya”. Perang dan politik merupakan perwujudan dari pertentangan antara orang berpunya dan orang tidak-berpunya tersebut. Pena atau pedang hanyalah jenis jalan yang dipilih pada suatu waktu tertentu.***


No comments:

Post a Comment