Saturday, January 16, 2016

TEROR



Belum usai kehangatan peristiwa ditabraknya gedung WTC di Amerika Serikat, dunia kembali dihebohkan dengan peledakan bom di Bali yang menewaskan ratusan manusia. Peristiwa dahsyat tersebut terjadi justru di lokasi yang selama ini dianggap sebagai tempat teraman. Demikian pula berbagai peristiwa peledakan bom lainnya di berbagai penjuru dunia. Orang-orang mulai bertanya: apa yang sebenarnya sedang terjadi? Namun kemudian, untuk sedikit menghibur rasa kemarahan, harus ada yang disalahkan, dan dunia (baca: Amerika) lebih suka menggunakan istilah “teroris” sebagai sebuah terminologi yang dipakai untuk label, menggampangkan, penyebutan pelaku aksi-aksi kekerasan tersebut (ironisnya tidak dipakai pada Israel yang melakukan agresi ke Palestina).

Amerika (pemerintahan Bush) kemudian menjadi pelopor dalam memerangi aksi-aksi peledakan bom, yang disebut sebagai teror tersebut, karena memang aset-aset Amerika lah yang sering dijadikan sasaran bom. Kampanye-kampanye anti terorisme segera disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Diplomasi ke berbagai negara segera dilakukan Amerika, dan Inggris, untuk mendapat dukungan politis, dan dukungan politis ini merupakan legitimasi bagi seluruh tindakan Amerika beserta sekutunya, dengan mengatasnamakan “perang melawan terorisme.” Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan aksi penggulingan pemerintahan Thaliban (Afghanistan) oleh Amerika beserta sekutunya, paska ditabraknya gedung WTC. Di situ jelas terlihat bahwa persoalan semula (yang disebut sebagai perang melawan terorisme) telah bergeser ke aksi penggulingan sebuah rezim yang sah. Tak lama setelah berhasil mengganti pemerintahan di Afghanistan, Amerika berniat menyerang Irak dan berencana mengganti pemerintahan Sadam Hussein, dengan alasan bahwa Irak mengembangkan senjata pemusnah masal (kimia dan biologi). Dunia kembali serempak melantunkan lagu setuju, mendukung kebijakan dan aksi-aksi yang dilakukan Washington.

Sementara itu di Indonesia, pemerintah dan juga sebagian besar anggota parlemen, terlihat ikut hanyut di dalam pandangan-pandangan Amerika. Beberapa waktu yang lalu, Megawati telah menandatangani Rancangan Undang-Undang tentang terorisme, yang segera diajukan ke DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Perlu tidaknya keberadaan UU anti terorisme ini sendiri sebenarnya masih menjadi pro-kontra, karena sebagian kalangan khawatir bahwa undang-undang tersebut tak jauh beda dari UU anti subversif yang memang efektif dalam membungkam daya kritis masyarakat serta pandangan-pandangan yang berbeda dari pemerintah. Ketakutan-ketakutan ini menyangkut definisi terorisme itu sendiri. Bagaimanakah sesuatu itu dapat disebut teror? Apakah yang dimaksud dengan terorisme? Siapakah teroris itu? Tak mudah menjawabnya memang.

Sampai saat ini, istilah teror, teroris, dan terorisme itu sendiri masih menjadi isu yang tetap relevan untuk diperdebatkan. Setiap orang dapat mengajukan konsep atau pemahamannya tentang hakekat terorisme, mendefinisikannya disertai argumen-argumen yang dimilikinya. Oleh karena itu pula, setiap orang dapat berbeda di dalam menyikapi terorisme itu sendiri, berdasar pengalamannya. Seseorang mungkin menyebut terorisme sebagai sesuatu yang biadab, bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, dan harus dihentikan. Namun di sisi lain, ada orang yang mengatakan bahwa terorisme adalah sebuah perjuangan demi tercapainya cita-cita luhur. Singkatnya, teroris bagi seseorang dapat berarti pejuang kebebasan dan keadilan bagi orang lain, atau dalam aksioma: “One man’s terrorist is another man’s freedom fighter” (Fery, Journal Forum Filsafat, 2002: 5).

Teror menyiratkan pola-pola intimidasi maupun represifitas, dengan dan untuk fisik maupun psikis. Namun secara moral, apakah cara-cara teror dapat dibenarkan? Jawabannya memang tidak sederhana, karena ada persoalan yang lain, yakni relativitas moral. Moral sebagai nilai-nilai pegangan yang mengatur tingkah laku tentunya tergantung pada konteks, dan terdapat banyak pandangan terkait dengan moralitas. Maka wajar apabila kemudian muncul silang pendapat menyangkut tindakan teror itu sendiri, dengan masing-masing saling mengajukan dasar pemikiran, argumen tentang terorisme. Inilah pluralitas sistem etik.

Sitem etika teleologis mengutamakan hasil perbuatan. Aliran teleologis mengukur baik atau tidaknya suatu perbuatan berdasarkan hasilnya. Teleologis (telos: tujuan) mengatakan bahwa parameter baik-buruk suatu perbuatan adalah faktor eksternal, yakni ada tujuan yang ingin dicapai. Sistem ini juga disebut sistem konsekwensialitas, karena baik tidaknya perbuatan dianggap tergantung pada konsekwensinya, dan kata teleologis itu sendiri bermakna “terarah pada tujuan” (Bertens; Etika, 2000: 254). Di dalam pandangan teleologis, terorisme mungkin dapat dibenarkan, karena memiliki dasar argumen bahwa semakin besar manfaat bagi tujuan yang akan dicapai, maka suatu perbuatan tersebut mempunyai dasar pembenaran moral. Contoh yang paling gampang dari argumen ini adalah pembelaan terpaksa atau bela diri (misal berkelahi dengan perampok yang berakibat tewasnya perampok tersebut).

Di sisi lain, sistem etika deontologi (deon: apa yang harus dilakukan; kewajiban) mengukur baik-buruk suatu perbuatan berdasarkan maksud si pelaku di dalam melakukan perbuatan itu. Sistem ini tidak melihat tujuan, melainkan semata-mata wajib atau tidaknya perbuatan dan keputusan kita (Bertens, Etika, 2000: 254). Suatu perbuatan dikatakan baik bukan karena faktor eksternal, namun di dalam perbuatan itu sendiri wajib dilakukan. Perbuatan baik harus dilakukan karena kebaikan itu sendiri, bukan karena tujuan luar. Pandangan ini dipelopori oleh Imanuel Kant (1724-1804) dengan konsep Imperatif Kategoris dan Imperatif Hipotetis. Maka terorisme yang selalu diidentikkan dengan kekerasan dan kekacauan, tentu saja ditolak oleh aliran deontologis. Sistem etika ini tidak membenarkan tujuan yang baik ditempuh melalui jalan yang tidak baik. Jalan atau cara yang buruk harus dihindari karena hal tersebut bertentangan dengan kebaikan itu sendiri.

Sedikit uraian di atas, tentang dua sistem etika yang bersebarangan, setidaknya mampu membantu kita melihat dan memahami mengapa ada pendapat-pendapat yang berbeda mengenai aksi-aksi yang dikatakan sebagai terorisme akhir-akhir ini. Ada sebagian yang mengatakan terorisme sebagai kebiadaban, namun juga ada yang mengatakan terorisme sebagai bagian perjuangan.

Akan tetapi yang tetap menarik diperhatikan adalah pemaknaan tehadap terminologi “terorisme” itu sendiri. Manusia adalah mahluk simbol, sehingga tak berlebihan jika Jacques Ellul mengatakan bahwa memanipulasi simbol-simbol (termasuk bahasa) berarti pula memanipulasi masyarakat. Bahasa, dalam kaitan ini, menjadi suatu instrumen yang dikontrol, dan pada gilirannya nanti menjadi instrumen kontrol kesadaran dan perilaku masyarakat (D.D.Malik dan I.S. Ibrahim, Hegemoni Budaya, 1997: 64). Maka pemakaian istilah “terorisme” saat ini sebenarnya membawa muatan nilai-nilai dari komunikatornya (secara faktawi, yang mendominasi lalu lintas informasi adalah Amerika dan sekutunya). Pada saat ini, mayoritas penduduk dunia, termasuk di Indonesia, tampak digiring pada satu pemahaman tentang terorisme, yakni bahwasannya terorisme adalah segala bentuk gerakan radikal yang melawan kebijakan-kebijakan ekonomi-politik pemerintah Amerika. Sebuah proses penyeragaman pikiran sedang terjadi, di dalam rangka mempertahankan, menyebarluaskan, reproduksi ideologi dominan saat ini, dan propaganda tersebut memanfaatkan seluruh ruang yang ada, seperti televisi, film, gaya hidup, dan lain-lain. Selain itu, tak kalah penting adalah proses komodifikasi segala sesuatu, dengan diikuti akumulasi modal. Inilah watak-watak ideologi eksploitatif dan represif, yang hanya mengutamakan profit dan mengabaikan aspek keadilan dalam proses produksi dan distribusi perekonomian.

Amerika, sebagai representasi dari sebuah sistem ekonomi-politik yang eksploitatif dan represif, yakni Kapitalisme, telah bermain di dalam dua wilayah demi eksistensinya, meminjam istilah Louis Althusser yakni Ideological state apparatus dan Repressive state apparatus. Serangan terhadap Afghanistan, dan segera Irak, merupakan bentuk paling kasar dari Repressive state apparatus. Selain mungkin karena diplomasi dianggap telah buntu, sebagian kritikus ekonomi-politik mengatakan bahwa perang yang dilakukan oleh Amerika sebenarnya di dalam rangka menyelamatkan perekonomian negara. Sekedar diingat, pada tahun lalu Federal Reserve (bank sentral Amerika) telah beberapa kali menurunkan tingkat suku bunga sebagai akibat dari lesunya perekonomian. Segera terbayang hantu over product yang dapat mengakibatkan pengangguran besar-besaran. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi Depresi Besar 1929 adalah penyerapan tenaga kerja produksi peralatan persenjataan Perang Dunia II. Walaupun masih menjadi asumsi, namun yang jelas genderang perang telah ditabuh, dan mungkin Libya, Iran, Korea Utara, serta Kuba, sebagai musuh-musuh Amerika, menjadi target penyerangan selanjutnya.

Sementara, hegemoni budaya merupakan wilayah Ideological state apparatus, di mana kesadaran, emosi, dan perilaku merupakan obyek garapan. Masyarakat di seluruh penjuru dunia dilenakan dan dibuai dengan gaya hidup yang dipasokkan oleh negara-negara dominan atau maju (Amerika dan sekutunya), yang sebenarnya terdapat muatan-muatan ideologis dibaliknya, dan tentu saja tujuan utamanya adalah pelanggengan sistem ekonomi-politik yang telah mapan. Masyarakat dipaksa secara psikis untuk mengkonsumsi, membenarkan, dan mempertahankan ideologi dominan yang sedang berkuasa, dan secara simultan mau tak mau terjadi proses reproduksi ideologi. Maka tak heran apabila sebagian masyarakat sering memuja-muja sitem ekonomi pasar bebas, dan mengagung-agungkan persaingan individu di dalam perdagangan, yang selalu dimenangkan oleh pemilik modal besar. Inilah teror yang sebenarnya, yakni ketidakjelasan nasib orang-orang yang kalah di dalam persaingan.

Maka, seharusnya, perang global melawan terorisme adalah perang melawan ideologi represif, melawan sistem ekonomi-politik eksploitatif. Teror adalah ketika IMF memaksa pemotongan subsidi untuk rakyat, ketika World Bank menjerat negara-negara miskin dengan hutang yang berbunga, ketika WTO memproteksi negara-negara maju. Teror adalah ketika Amerika dan sekutunya menjatuhkan bom di mana-mana, ketika seluruh ruang menjadi media reproduksi ideologi Kapitalisme, ketika manusia hanya menjadi robot***

Yogyakarta, 2002

Artikel ini dimuat di majalah “Brosur Lebaran” Angkatan Muda Muhammadiyah Kotagede, Yogyakarta, edisi No.41 tahun 1423 H/ 2002 M.

No comments:

Post a Comment