Monday, February 8, 2016

RAJA WANITA JAWA YOGYA

Pada 5 Mei 2015, Sultan HB X mengeluarkan Dawuh Raja, berisi pemberian gelar Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi pada GKR Pambayun (putri sulung HB X). Sebelumnya, HB X mengeluarkan Sabdaraja. Sabdaraja dan Dawuh Raja ini kemudian menimbulkan konflik, terutama di kalangan keluarga keraton Kasultanan Ngayogyakarta. Sultan HB X dianggap telah melanggar paugeran keraton.

Romo Tirun, salah seorang anggota keluarga keraton, mengatakan bahwa Sabdaraja dan Dawuh Raja Sultan HB X bertujuan memudahkan GKR Mangkubumi menjadi pewaris tahta, bertarget njumenengke (mengangkat) perempuan menjadi raja.[1] Jika dugaan Romo Tirun benar, maka arah penunjukkan putri HB X, yakni Pambayun, sebagai calon raja Kasultanan Yogya memang tidak lazim di dalam tradisi kekuasaan politik Mataram Islam.

Sejauh ini, Mataram Islam dan dinasti-dinasti keturunannya belum pernah memiliki raja wanita. Jika ditinjau lebih ke belakang lagi, tidak sebatas pada Mataram Islam, maka akan terlihat bahwa peran politik wanita di periode Jawa Islam mengalami penurunan secara relatif (kecuali kasus Ratu Kali Nyamat) dibandingkan dengan era kerajaan-kerajaan Jawa pra-Islam. Di dalam catatan Lombard, beberapa prasasti Jawa pra-Islam memperlihatkan bahwa wanita mengambil bagian besar dalam kehidupan ekonomi dan politik saat itu.[2] Namun seiring berkembangnya pelabuhan-pelabuhan (dan agama Islam) beserta masyarakat urbannya, muncul kecenderungan pembatasan kebebasan wanita di Jawa, meski wanita tidak benar-benar tersingkir dari kehidupan ekonomi.[3]

Di dalam era Jawa pra-Islam, setidaknya pernah ada perempuan-perempuan yang menjadi penguasa politik atau raja. Ratu Shima dan Ratu Tribuwana Tungga Dewi adalah contoh yang sering disebut. Perlu digarisbawahi bahwa raja-raja perempuan tersebut hidup di dalam sistem  monarkhi-feodal, dan bukan demokrasi.

Demokrasi tidak identik dengan partisipasi dan peran perempuan di dalam urusan publik, dalam hal ini politik, meski demokrasi memang memberi ruang lebih terbuka bagi munculnya ide tentang kesempatan bagi peran politik perempuan. Demokrasi pertama yang lahir di Athena, Yunani, di abad 5 SM (Sebelum Masehi) adalah sistem politik yang mengeksklusikan wanita dari kehidupan politik. Hak politik hanya dimiliki oleh pria dewasa, merdeka (bukan budak), dan warga Athena. Wanita tidak memiliki hak politik. Demokrasi Athena memperlihatkan bahwa sistem demokrasi tidak identik dengan kesetaraan gender. Demokrasi Athena memperlihatkan bahwa demokrasi yang lahir di Yunani berada di dalam suasana patriarkhi dan perbudakan.

Di dalam sejarah masyarakat, peran perempuan di urusan politik tidak datang secara tiba-tiba dari langit. Secara umum, kemunculan partisipasi dan peran politik perempuan berkaitan dengan signifikansi posisi perempuan atas kepemilikan ekonomi – termasuk hak milik yang diturunkan melalui garis darah dalam hak waris – atau mengemukanya posisi hak milik ekonomi perempuan pada masyarakat bersangkutan.

Ratu Shima dan Ratu Tribuwana Tungga Dewi berangkat dari latar belakang klas bangsawan pemilik kekayaan – dan sistem waris keturunan darah atas hak milik kekayaan – dalam hal ini tanah-tanah. Posisi tersebut memungkinkan mereka memiliki kesempatan dapat memperoleh peran politik yang lebih besar dibandingkan kaum perempuan lainnya pada saat itu, meski hal ini tidak berarti bahwa diksriminasi gender tidak ada sama sekali pada saat itu. Capaian peran politik Ratu Shima dan Ratu Tribuwana Tungga Dewi bukan karena ide-ide demokrasi dan kesetaraan gender sebagaimana pengertian modern, melainkan lebih memiliki pendasaran pada sistem garis waris keturunan darah atas hak milik kekayaan, yang kemudian juga dibalut dengan legitimasi mistis dan mitologis.

Seandainya, dengan “Dawuh Raja”, Sultan HB X memang hendak menjadikan putrinya sebagai raja dengan alasan kesetaraan gender dikarenakan tuntutan perkembangan jaman (terutama dengan alasan globalisasi), maka Sultan HB X juga perlu mempertimbangkan untuk menerapkan keseteraan gender dan gagasan anti-patriarkhi bagi institusi keraton secara keseluruhan. Tanpa tindakan itu, Sultan HB X hanya mengulang kesetaraan gender ala Jawa lama sebagaimana terjadi pada Ratu Shima dan Tribuwana Tungga Dewi, yang pada dasarnya bukan dilandasi ide-ide konsep kesetaraan gender, melainkan berdasar waris keturunan darah atas hak milik kekayaan. Selain itu, sulit diingkari tuduhan bahwa motif utama Sultan HB X adalah keinginan untuk mempertahankan keturunan darahnya sebagai penguasa keraton Yogya, agar garis darah raja Yogya tidak terputus dari darah HB X. Andaikata raja pengganti HB X adalah adik laki-laki dari HB X, maka hal ini berarti pula terputusnya darah HB X atas kekuasaan kasultanan Yogya.

Jika Sultan HB X berani mengubah paugeran kraton – dalam hal ini terkait isu kesetaraan gender dan ide anti-patriarkhi (entah memang benar-benar karena memperjuangkan kesetaraan gender atau hanya karena ingin mempertahankan keturunan darahnya tetap berkuasa di keraton Yogya) – maka HB X akan berhadapan dengan para bangsawan dan pejabat keraton lainnya yang menolak raja wanita, yang masih memegang nilai-nilai patriarkhi.

Sebenarnya, kekuasaan keraton Kasultanan Yogyakarta adalah satu hal, dan kekuasaan Provinsi Yogyakarta adalah hal lain. Namun, menurut Undang-undang Keistimewaan DIY, gubernur Yogya adalah raja Kasultanan Yogya yang sedang menjabat. Sehingga, konflik kekuasaan keraton Kasultanan Yogya akan membawa dampak pada konflik kekuasaan politik provinsi Yogyakarta.

Kekuasaan politik provinsi Yogyakarta mengacu pada konstitusi Republik Indonesia. Sirkulasi kekuasaan politik Republik Indonesia tidak mengenal diskriminasi gender. Di sisi lain, sirkulasi kekuasaan politik Republik Indonesia juga tidak berdasar pada sistem warisan keturunan darah pemegang hak milik kekayaan. Kecuali dilakukan amandemen terhadap konstitusi.***

Catatan:

[1] “Romo Tirun Sanksikan Sultan Terima Wahyu”. Tribun Jogja, 10 Mei 2015. Hlm 1 & 11. Romo Tirun adalah nama panggilan Kanjeng  Raden Tumenggun Jatiningrat, yang menjabat sebagai Penghageng Tepas Dwarapura Keraton Ngayogyakarta.
[2] Denys Lombard. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (jilid 3). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Forum Jakarta-Paris, Ecole Francaise d’Extreme-Orient. (Asli: Le Carrefour Javanais: Essai d’historie Globale: III. L’heritage des royaumes concentriques. Penterjemah: Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, Nini Hidayati Yusuf). Hlm. 92.
[3] Ibid. hlm. 94.

No comments:

Post a Comment