Pada 5 Mei 2015, Sultan HB X mengeluarkan Dawuh Raja, berisi pemberian gelar Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi pada GKR
Pambayun (putri sulung HB X). Sebelumnya, HB X mengeluarkan Sabdaraja. Sabdaraja dan Dawuh Raja ini kemudian menimbulkan konflik, terutama di kalangan keluarga keraton Kasultanan Ngayogyakarta. Sultan HB X dianggap telah melanggar
paugeran keraton.
Romo
Tirun, salah
seorang anggota keluarga
keraton, mengatakan bahwa Sabdaraja dan Dawuh Raja
Sultan HB X bertujuan memudahkan GKR Mangkubumi menjadi pewaris tahta,
bertarget njumenengke (mengangkat)
perempuan menjadi
raja.[1] Jika dugaan Romo
Tirun benar, maka arah
penunjukkan putri HB X, yakni Pambayun, sebagai calon raja Kasultanan Yogya memang tidak lazim di dalam tradisi kekuasaan
politik Mataram Islam.
Sejauh ini,
Mataram Islam dan
dinasti-dinasti keturunannya belum pernah
memiliki raja wanita. Jika ditinjau lebih ke belakang lagi, tidak sebatas pada Mataram Islam, maka akan terlihat bahwa peran politik wanita di periode Jawa Islam mengalami penurunan secara relatif (kecuali kasus Ratu Kali Nyamat) dibandingkan dengan era kerajaan-kerajaan Jawa
pra-Islam. Di dalam
catatan Lombard, beberapa
prasasti Jawa pra-Islam memperlihatkan bahwa wanita mengambil bagian besar dalam kehidupan
ekonomi dan politik saat itu.[2] Namun seiring berkembangnya pelabuhan-pelabuhan (dan agama Islam) beserta masyarakat
urbannya, muncul kecenderungan pembatasan kebebasan wanita di Jawa, meski wanita tidak benar-benar tersingkir dari kehidupan ekonomi.[3]
Di
dalam era Jawa pra-Islam, setidaknya pernah ada perempuan-perempuan yang menjadi penguasa politik atau raja. Ratu Shima dan Ratu Tribuwana
Tungga Dewi adalah contoh yang sering disebut. Perlu digarisbawahi bahwa raja-raja perempuan
tersebut hidup di dalam sistem monarkhi-feodal, dan bukan demokrasi.
Demokrasi tidak identik dengan partisipasi dan peran perempuan di dalam
urusan publik, dalam
hal ini politik, meski
demokrasi memang memberi ruang lebih terbuka bagi
munculnya ide tentang kesempatan bagi peran politik perempuan. Demokrasi pertama yang lahir di Athena, Yunani, di abad 5 SM (Sebelum Masehi) adalah
sistem politik yang mengeksklusikan wanita dari kehidupan politik. Hak politik
hanya dimiliki oleh pria dewasa, merdeka (bukan budak), dan warga Athena.
Wanita tidak memiliki hak politik. Demokrasi Athena memperlihatkan bahwa sistem demokrasi tidak identik dengan kesetaraan
gender. Demokrasi
Athena memperlihatkan bahwa demokrasi yang lahir di Yunani berada di dalam
suasana patriarkhi dan
perbudakan.
Di dalam sejarah masyarakat, peran perempuan di urusan politik tidak
datang secara tiba-tiba dari langit. Secara
umum, kemunculan
partisipasi dan peran
politik perempuan berkaitan
dengan signifikansi posisi perempuan atas kepemilikan ekonomi – termasuk hak
milik yang diturunkan melalui garis darah dalam hak waris – atau mengemukanya posisi hak milik ekonomi perempuan pada masyarakat
bersangkutan.
Ratu Shima dan Ratu Tribuwana Tungga Dewi berangkat dari latar belakang klas
bangsawan pemilik kekayaan – dan sistem waris keturunan darah atas hak milik
kekayaan – dalam hal ini tanah-tanah. Posisi tersebut memungkinkan mereka
memiliki kesempatan dapat memperoleh peran
politik yang lebih besar dibandingkan
kaum perempuan lainnya pada saat itu, meski hal ini tidak berarti bahwa diksriminasi
gender tidak ada sama sekali pada saat itu. Capaian peran politik Ratu Shima
dan Ratu Tribuwana Tungga Dewi bukan karena ide-ide demokrasi dan kesetaraan
gender sebagaimana pengertian
modern, melainkan lebih memiliki pendasaran pada sistem garis waris keturunan darah atas hak milik
kekayaan, yang
kemudian juga dibalut dengan legitimasi mistis dan mitologis.
Seandainya,
dengan “Dawuh Raja”, Sultan HB X memang hendak menjadikan putrinya sebagai raja dengan
alasan kesetaraan gender dikarenakan tuntutan perkembangan jaman (terutama dengan
alasan globalisasi), maka Sultan HB X juga perlu mempertimbangkan untuk
menerapkan keseteraan gender dan gagasan anti-patriarkhi bagi
institusi keraton secara
keseluruhan. Tanpa tindakan itu, Sultan HB X hanya
mengulang kesetaraan gender ala Jawa lama sebagaimana terjadi pada Ratu Shima
dan Tribuwana Tungga Dewi, yang pada dasarnya bukan dilandasi ide-ide konsep kesetaraan
gender, melainkan berdasar waris keturunan darah atas hak milik kekayaan. Selain itu, sulit diingkari tuduhan bahwa motif utama Sultan HB X adalah keinginan untuk mempertahankan keturunan darahnya
sebagai penguasa keraton Yogya, agar
garis darah raja Yogya tidak terputus dari darah HB X. Andaikata raja pengganti HB
X adalah adik laki-laki
dari HB X, maka hal ini berarti pula
terputusnya darah HB X atas kekuasaan kasultanan Yogya.
Jika Sultan HB X berani mengubah paugeran
kraton – dalam hal ini terkait isu kesetaraan gender dan ide
anti-patriarkhi (entah memang benar-benar karena memperjuangkan kesetaraan
gender atau hanya karena ingin mempertahankan keturunan darahnya tetap berkuasa
di keraton Yogya) – maka HB X akan berhadapan
dengan para bangsawan dan pejabat keraton lainnya yang menolak raja wanita,
yang masih memegang nilai-nilai patriarkhi.
Sebenarnya,
kekuasaan keraton Kasultanan Yogyakarta adalah satu hal, dan kekuasaan Provinsi
Yogyakarta adalah hal lain. Namun, menurut Undang-undang Keistimewaan DIY,
gubernur Yogya adalah raja Kasultanan Yogya yang sedang menjabat. Sehingga, konflik kekuasaan keraton
Kasultanan Yogya akan membawa dampak pada konflik kekuasaan politik provinsi
Yogyakarta.
Kekuasaan
politik provinsi Yogyakarta mengacu pada
konstitusi Republik Indonesia. Sirkulasi kekuasaan politik Republik Indonesia tidak
mengenal diskriminasi gender. Di sisi lain, sirkulasi kekuasaan politik
Republik Indonesia juga tidak berdasar pada sistem warisan keturunan darah pemegang hak milik kekayaan. Kecuali dilakukan
amandemen terhadap konstitusi.***
Catatan:
[1] “Romo
Tirun Sanksikan Sultan Terima Wahyu”. Tribun Jogja, 10 Mei 2015. Hlm 1 &
11. Romo Tirun adalah nama panggilan Kanjeng
Raden Tumenggun Jatiningrat, yang menjabat sebagai Penghageng Tepas
Dwarapura Keraton Ngayogyakarta.
[2] Denys
Lombard. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya,
Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (jilid 3). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, Forum Jakarta-Paris, Ecole Francaise d’Extreme-Orient. (Asli: Le
Carrefour Javanais: Essai d’historie Globale: III. L’heritage des royaumes
concentriques. Penterjemah: Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat,
Nini Hidayati Yusuf). Hlm.
92.
[3] Ibid. hlm. 94.
No comments:
Post a Comment