Friday, February 12, 2016

WAHYU BUMI MATARAM

Pada tanggal 30 April 2015, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Sabdaraja yang di antaranya berisi tentang penggantian nama Buwono menjadi Bawono dan penghilangan gelar kalifatullah. Sultan HB X mengatakan bahwa Sabdaraja tersebut merupakan kehendak Tuhan, yang mungkin disampaikan melalui pesan leluhur HB X (Tribun Jogja, 10 Mei 2015).[1]


Pada sejarah Mataram Islam, gelar kalifatullah pertama kali dipakai oleh Amangkurat IV, dan kemudian dipakai oleh para raja Kasultanan Ngayogyakarta. Namun gelar ini tidak dipakai oleh para raja Surakarta.[2] Gelar kalifatullah itu sendiri memiliki konsep yang secara serupa juga dimiliki oleh penguasa-penguasa politik di negara-negara theokrasi berbasis agama-agama Ibrahim lainnya, termasuk di Eropa, bahwa raja (penguasa politik) adalah wakil Tuhan di bumi.

Pada masa Jawa pra-Islam, raja dianggap sebagai perwujudan atau titisan Tuhan. Hal ini juga banyak terjadi pada raja-raja di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara sebelum datangnya agama-agama Ibrahim di daerah tersebut. Misal, di Babilonia dan Mesir. Setelah raja-raja di Jawa menjadi Islam, konsep raja berubah menjadi wakil Tuhan di bumi, bukan titisan atau penjelmaan Tuhan. Termasuk yang terjadi pada dinasti Mataram Islam.

Di dalam cerita populer, berdirinya kerajaan Mataram Islam didahului oleh kisah turunnya “Wahyu Gagak Emprit”, yang kemudian mengantarkan terjadinya perjanjian antara Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pamanahan terkait berdirinya negara Mataram Islam. Perlu diingat bahwa ketika terjadi pertemuan antara Giring dan Pamanahan ini, bumi Mataram masih merupakan bagian dari negara Pajang.

Perjanjian Giring-Pamanahan (jika memang ada!) sebenarnya melanggar kesepakatan antara Sultan Pajang dengan Ki Ageng Pamanahan. Sultan Pajang memberikan bumi Mataram kepada Pamanahan – atas jasanya menumpas Arya Penangsang – hanya sebatas hak untuk mengelola bumi Mataram dan tidak untuk mendirikan negara baru yang bernama Mataram Islam. Pelanggaran terhadap kesepakatan antara Sultan Pajang dan Pamanahan tersebut kemudian mendapat pembenaran dan legitimasi supranatural berupa “Wahyu Gagak Emprit” yang diterima Giring, dan kemudian disusul perjanjian Giring-Pamanahan.

Legitimasi supranatural juga terjadi menjelang dinobatkannya Dorodjatun sebagai HB IX. Sebelum dapat dinobatkan sebagai HB IX, Dorodjatun terlebih dahulu harus bersedia menandatangani kontrak politik dengan pemerintah Hindia Belanda, yakni “Surat Perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Yogyakarta”. Legitimasi supranatural tersebut dikisahkan berupa suara ghaib yang menyuruh Dorojatun agar menandatangani kontrak politik dengan pemerintah Hindia Belanda.

Isi kontrak politik tersebut di antaranya adalah: Pasal 1 ayat (1) Kesultanan merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan karenanya berada di bawah kedaulatan Sri Baginda Ratu Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal. Ayat (2) Kekuasaan atas Kesultanan diselenggarakan oleh seorang Sultan yang diangkat oleh Gubernur Jenderal. Selain itu, di dalam pasal 12 ayat (1) disebutkan: Bendera Kesultanan, Sri Sultan, dan penduduk Kesultanan adalah bendera Negeri Belanda.

Menurut buku “Tahta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Kompas Gramedia), dikisahkan di suatu petang bulan Februari 1940, Dorodjatun sedang tidur-tiduran dan mendengar bisikan ghaib. Mungkin suara seorang leluhur. Suara tersebut meminta agar Dorodjatun segera menandatangani kontrak politik dengan Belanda karena Belanda sebentar lagi akan segera pergi. Setelah peristiwa tersebut, Dorodjatun menandatangani perjanjian atau kontrak politik dengan pemerintah Hindia Belanda tertanggal 18 Maret 1940, namun ditandatangani 29 April 1940. Dorodjatun dinobatkan menjadi Sri Sultan HB IX.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia Agustus 1945, keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan dukungan ke Republik Indonesia melalui Amanat Seripaduka Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Jogjakarta tanggal 5 September 1945. Perlu diketahui bahwa para bangsawan dan kerajaan-kerajaan di nusantara yang menyatakan dukungan pada negara Indonesia selamat dari amukan badai revolusi kemerdekaan 1945. Demikian pula keraton Yogya. Sebagaimana pendapat Selosoemarjan, yang kurang lebih mengatakan bahwa revolusi tidak mungkin dapat mendobrak pintu-pintu istana di Yogyakarta, karena pintu-pintu itu sudah terbuka lebar.[3] Pada tahun 1950, status Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, bersama Kadipaten Pakualaman, diturunkan menjadi daerah istimewa yang setingkat provinsi.

Ujaran HB X tentang kehendak Tuhan dan pesan leluhur – terkait Sabdaraja yang dikeluarkannya – merupakan salah satu bentuk komunikasi kekuasaan yang dapat memberi legitimasi supranatural atas tindakan-tindakan yang dibuat oleh HB X. Pada setiap perubahan politik yang cukup signifikan di Mataram Islam dan dinasti-dinasti keturunannya, sering diiringi kemunculan cerita-cerita supranatural. Wahyu Gagak Emprit, gelar kalifatullah, bisikan ghaib HB IX tahun 1940 serta pesan leluhur HB X tahun 2015, semua terjadi di dalam suasana perubahan-perubahan politik yang cukup penting.

Narasi-narasi legitimasi kekuasaan tersebut kemudian direproduksi dan disebarluaskan oleh aparat-aparat ideologi keraton, di antaranya adalah para pujangga, pemuka agama, sastrawan, seniman, dan sekarang termasuk akademisi, yang pro keraton.

Jaman telah berubah. Pikiran orang juga berubah. Mitologi-mitologi lama telah banyak yang kehilangan daya dan efek sakralnya. Narasi-narasi lama telah diganti oleh narasi-narasi baru yang sesuai dengan syarat-syarat sejarah, termasuk perkembangan pikiran manusia.

Argumentasi HB X – tentang kehendak Tuhan dan pesan leluhur – yang mendasari Sabdaraja 30 April 2015, bisa saja masih dipercaya oleh sebagian orang. Namun, sebagian orang lainnya akan menganggapnya sebagai lelucon belaka. Seperti tragedi yang menjadi komedi.***

Catatan:


[1] “Romo Tirun Sanksikan Sultan Terima Wahyu”. Tribun Jogja, 10 Mei 2015. Hlm 1 & 11. Romo Tirun adalah nama panggilan Kanjeng  Raden Tumenggun Jatiningrat, yang menjabat sebagai Penghageng Tepas Dwarapura Keraton Ngayogyakarta.
[2] Denys Lombard. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (jilid 3). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Forum Jakarta-Paris, Ecole Francaise d’Extreme-Orient. (Asli: Le Carrefour Javanais: Essai d’historie Globale: III. L’heritage des royaumes concentriques. Penterjemah: Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, Nini Hidayati Yusuf). Hlm. 65.
[3] Selosoemardjan, Social Changes, dikutip dari M.C. Ricklefs. Hlm 330.

No comments:

Post a Comment