Saturday, March 12, 2016

PERPUSTAKAAN ALEXANDRIA DAN ELITISNYA FILOSOF-SAINTIS

Perpustakaan Alexandria (300 SM-700 M) merupakan tempat penyimpanan terbesar koleksi karya-karya tulis Yunani di dunia kuno. Banyak hal yang masih diperdebatkan terkait perpustakaan Alexandria, misal tentang pendiri, lokasi, hubungannya dengan Mouseion (Museum) Alexandria, dan sebagainya. Salah seorang yang pernah memimpin Museum dan perpustakaan Alexandria adalah Theon, ayah Hypatia (filosof-saintis wanita).

Kota Alexandria yang terletak di pantai utara Mesir didirikan oleh Alexander Agung (Iskandar Zulkarnaen yang Agung) di tahun 331 SM. Kota Alexandria berada di tepi utara benua Afrika dan menghadap lautan Mediterania. Kota Alexandria kemudian berkembang menjadi salah satu kota besar terpenting di kawasan Mediterania.

Pada tahun 300 SM, Ptolemy I mendirikan museum dan perpustakaan di Alexandria. Perpustakaan Alexandria disebut-sebut berada di Serapeum (kuil Sarapis). Konsep museum itu sendiri adalah gabungan antara lembaga sekolah dengan lembaga penelitian.

Semenjak imperium Roma menaklukkan dunia Helenis (kebudayaan Yunani yang diluaskan oleh Alexander Agung), Mesir menjadi bagian dari wilayah imperium Roma, dan akan menjadi bagian wilayah imperium Timur pada abad 4 M.

Perpustakaan Alexandria dikabarkan pernah terbakar di tahun 48 SM pada masa Julius Caesar. Julius Caesar memerintahkan pembakaran armada laut Mesir, namun api merambat ke dermaga dan gudang-gudang pelabuhan, hingga ke perpustakaan Alexandria. Sebagian dari kerugian atas terbakarnya perpustakaan Alexandria kemudian diganti oleh Marc Anthony dengan memberikan 200.000 volume tulisan dari perpustakaan Pergamon pada Cleopatra (Barnes, 2010: 72).

Pada tahun 391 M, setelah agama Kristen berkembang pesat di Alexandria, uskup Alexandria, Theophilus, dikabarkan memimpin orang-orang Kristen melakukan penyerbuan ke Serapeum, dan kemungkinan juga termasuk menghancurkan ruang perpustakaan yang dibangun di tempat itu (Sienkewicz, 2007: 56-57). Juga dikabarkan, tidak sedikit sarjana Museum yang dibunuh di jalanan. Pada peristiwa tersebut, sekitar 300.000 gulungan manuskrip karya-karya kepustakaan ratusan tahun yang ada di perpustakaan Alexandria menjadi sasaran pengrusakan (Burton 2011: 233).

Pada awalnya, uskup Theophilus hendak mengubah salah satu kuil pagan di Alexandria menjadi gereja (Istilah “pagan” merujuk pada agama-agama Mesir, Yunani, Romawi. Istilah “pagan” memang bisa membawa makna pejoratif). Setelah mendapat tentangan dari para penganut pagan dan terjadi keributan-keributan, kemudian Theophilus mendapat persetujuan dari Kaisar Theodosius I untuk menutup seluruh kuil pagan di Alexandria dan mengusir sejumlah filosof dan sarjana yang beragama pagan keluar dari Alexandria (Barnes,  2010:  73).

Pada tahun 392 M, Kaisar Theodosius I mengumumkan penutupan seluruh kuil pagan di wilayah Imperium Roma dan melarang segala praktek upacara pagan, bahkan yang dilakukan secara pribadi di rumah-rumah penduduk. Pada saat kematian Theodosius I, tahun 395 M, Imperium Roma telah secara resmi beragama Kristen (Burton, 2011: 216).

Sekitar tahun 641-642 M, Mesir jatuh ke tangan Arab-Islam. Ketika Amr ibn al-As, Gubernur Militer Arab, mengambil alih Alexandria, ia mendapati keadaan perpustakaan Alexandria tidak sebagaimana yang dahulu pernah ada, dan hanya menjumpai sedikit tulisan yang menarik. Dikisahkan, Amr ibn al-As kemudian meminta pendapat ke Mekah tentang apa yang harus dilakukan dengan buku-buku di perpustakaan Alexandria.

Khalifah Umar, menurut Macleod (2010), menjawab: “Jika isi buku-buku tersebut berkesesuaian dengan kitab Allah, kita tidak membutuhkan buku-buku tersebut, karena, kitab Allah lebih dari cukup. Sebaliknya, jika buku-buku tersebut berisi materi yang tidak sesuai dengan kitab Allah maka tidak perlu untuk memeliharanya. Hancurkan buku-buku tersebut”.

Sedangkan Barnes (2010: 74) menulis jawaban Umar: “Peganglah buku yang kamu sebutkan, jika apa yang tertulis di buku-buku tersebut sesuai dengan Kitab Allah, mereka tidak diperlukan; jika buku-buku tersebut bertentangan dengan Kitab Allah, mereka tidak diinginkan. Oleh karenanya, hancurkan buku-buku tersebut”.

Menurut kisah yang masih diperdebatkan, ribuan buku yang tersisa di perpustakaan Alexandria kemudian dibagikan pada masyarakat untuk dijadikan bahan bakar, termasuk dibuang ke bak mandi warga, sebagai bahan bakar penghangat. Dikabarkan pula, hanya tulisan karya Aristoteles yang selamat (Macleod, 2010: 10; Sienkewicz, 2007: 56-57).

Menurut Sagan (1997), perpustakaan Alexandria, – dari saat pembuatannya di abad ke-3 SM hingga kehancurannya tujuh abad kemudian – adalah otak dan jantung dunia kuno. Jantung perpustakaan itu adalah kumpulan bukunya. Perpustakaan Alexandria adalah tempat di mana manusia pertama kali mengumpulkan pengetahuan dunia secara sungguh-sungguh dan sistematik. Suatu kebudayaan saintifik yang cemerlang.

Namun, Sagan menambahkan, perkembangan sains di Alexandria hanya diabdikan untuk melayani kepentingan para penguasa politik. Penyelidikan dan penemuan saintifik yang dilakukan di dalam museum dan perpustakaan tidak pernah dibawa keluar untuk disebarkan kepada rakyat banyak. Rakyat umum tidak pernah menerima manfaat dari berbagai aktifitas saintifik di dalam museum dan perpustakaan (kecuali Archimedes). Sains tidak pernah sampai pada imajinasi banyak orang. Tidak ada perjuangan melawan stagnasi, pesimisme, dan penyerahan diri pada mistik. Tidak ada sarjana yang secara serius menantang asumsi-asumsi politik, ekonomi, dan agama masyarakat mereka. Sains dan kegiatan belajar menjadi hak istimewa sedikit orang saja.

Pada jaman Ptolemy II (309 SM - 246 SM), seorang filosof bernama Thimon (± 320 SM – 230 SM) memberi komentar yang dapat menjadi gambaran tentang bagaimana kedudukan para intelektual di Alexandria pada saat itu. Ia mengatakan bahwa di Mesir yang padat penduduk, terdapat sejumlah kutu buku yang diberi makan dan berdebat tanpa akhir di dalam “kandang ayam para Muse”. Apa yang dimaksud “kandang para Muse” adalah Museum (Barnes,  2010: 62).

Para filosof-saintis Alexandria relatif tidak mempersoalkan keadaan sosial masyarakat Alexandria. Persoalan di Alexandria bukan semata ketidakrasionalan rakyat umum Alexandria [yang dikarenakan tidak disebarkannya tradisi saintifik ke rakyat banyak], atau tidak populernya tradisi berpikir saintifik di kalangan masyarakat umum, namun juga soal struktur sosial yang menciptakan kesenjangan ekonomi, yang menciptakan kesadaran sosial yang berbeda di antara klas-klas sosial yang ada.

Para filosof-saintis di Alexandria menikmati privilege yang disediakan oleh struktur masyarakat dan dijamin oleh penguasa politik. Sebagai imbal-balik, para filosof-saintis tersebut mengabdikan pengembangan pengetahuan mereka untuk keperluan para penguasa politik saat itu.

Para filosof-saintis beraktivitas di dalam museum dan perpustakaan Alexandria yang termasyur. Penguasa politik sering datang ke museum untuk makan malam serta berdiskusi tentang persoalan filsafat (sains) dan sastra. Terjadi hubungan saling menguntungkan antara para filosof-saintis dengan penguasa politik.

Sementara itu, di luar Museum terdapat masyarakat yang memikul berbagai persoalan kehidupan sosial-ekonomi. Sebagai suatu kota kosmopolitan, Alexandria tidak lepas dari persoalan-persoalan sosial, terutama yang dialami oleh masyarakat lapisan bawah. Persoalan-persoalan sosial rakyat jelata relatif luput dari penelitian dan permenungan para filosof-saintis Alexandria. Bahkan, beberapa pemikiran sosial warisan para filosof besar era kejayaan Athena, misal Plato, memandang perbudakan sebagai hal yang alami dan wajar. Menurut Sagan, perbudakan telah mengisap vitalitas kebudayaan klasik di kota Alexandria.

Para filosof-saintis di Alexandria sibuk mempersoalkan fenomena alam, namun tidak kritis terhadap persoalan sosial. Para filosof-saintis gagal membaca pikiran dan perasaan rakyat klas bawah Alexandria terkait persoalan sosial. Tuntutan pada adanya perubahan keadaan sosial di Alexandria datang dari rakyat jelata, masyarakat umum, bukan datang dari para filosof-saintis. Potensi kekuatan berontak rakyat klas bawah di Alexandria belum mendapat saluran tunggal dan alat konsolidasi hingga datangnya agama Kristen ke Alexandria.

Seseorang boleh saja mengutuk tindakan penghancuran perpustakaan Alexandria sebagai tindakan anti rasionalitas, anti sains, yang dilakukan oleh bigot Kristen dan kemudian Islam. Namun, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa perpustakaan Alexandria juga pernah menjadi simbol elitisme dan kesombongan kalangan filosof-saintis, yang asyik dengan dunia mereka sendiri tanpa peduli pada ketimpangan sosial di luar perpustakaan. Para filosof-saintis Alexandria berada di menara gading. Pertentangan terjadi bersamaan di Alexandria: kesenjangan sosial-ekonomi yang melebar, rakyat membutuhkan makan dan layanan sosial, filosof-saintis membutuhkan kebebasan berpikir dan berekspresi. Pertentangan yang akhirnya dimenangkan oleh perut lapar rakyat Alexandria. Meski kemudian harus dibayar dengan dikekangnya kebebasan berpikir dan berekspresi di Alexandria, untuk tunduk pada dogma-dogma agama baru.***

DAFTAR PUSTAKA

Barnes, Robert. 2010. “Cloistered Bookworms in the Chicken-Coop of the Muses: The Ancient Library of Alexandria”. Di dalam Roy Macleod, (ed.). The Library of Alexandria, Centre of Learning in the Ancient World. London and New York: I.B. Tauris & Co Ltd.
Burton, David M. 2011. The History of Mathematics, An Introduction (seventh edition). New York: McGraw-Hill.
Macleod, Roy. 2010. “Introduction: Alexandria in History and Myth”.  Di dalam Roy Macleod, (ed.). The Library of Alexandria, Centre of Learning in the Ancient World. London and New York: I.B. Tauris & Co Ltd.
Sagan, Carl. 1997. Kosmos. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. (Judul asli: Cosmos. Penerjemah:  Bambang Hidayat, Djuhana Widjajakusumah, dan S. Maimoen).
Sienkewicz, Thomas J (ed.). 2007. Ancient Greece, Volume 1. Pasadena, California: Salem Press, Inc.

No comments:

Post a Comment