Pada tahun 2006, sekelompok
ahli-ahli Hak Asasi Manusia (HAM) internasional berkumpul di Yogyakarta untuk
menyusun prinsip-prinsip internasional terkait orientasi sexual dan identitas
gender. The International Commission of
Jurists dan International Service of
Human Rights, atas nama koalisi organisasi-organisasi hak asasi manusia,
menyelenggarakan suatu proyek untuk menetapkan seperangkat prinsip-prinsip
legal internasional atas penerapan hukum internasional pada pelanggaran hak
asasi manusia yang didasarkan atas orientasi sexual dan identitas gender.
Seminar internasional
tersebut diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada, dari tanggal 6 hinga 9
November 2006. Pertemuan ini menghasilkan
apa yang dinamakan sebagai The Yogyakarta
Principles: The Application of International Human Rights Law in Relation to
Sexual Orientation and Gender Identity (Prinsip-prinsip Yogyakarta:
Penerapan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional berkaitan dengan Orientasi Sexual
dan Identitas Gender).
Dokumen the Yogyakarta Principles dimaksudkan sebagai panduan universal
tentang hak asasi manusia – terkait orientasi sexual dan identitas gender (termasuk
Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender: LGBT) –
yang menegaskan standar hukum internasional yang mengikat, yang harus dipatuhi
oleh semua negara di dunia.
Sebanyak 29 ahli dari 25
negara dengan berbagai latar belakang dan keahlian yang relevan dengan isu-isu
hukum hak asasi manusia secara bulat mengadopsi dan menjadi penandatangan the Yogyakarta Principles. Peserta dan
penandatangan dari Indonesia adalah Rudi Muhammad Rizki, dosen fakultas hukum
Universitas Padjajaran.
Dokumen the Yogyakarta Principles yang setebal 35 halaman tersebut memuat
29 prinsip-prinsip yang diadopsi, dan juga memuat rekomendasi-rekomendasi. Teks
dokumen secara resmi ditulis di dalam bahasa Inggris dan versi terjemahan resmi
tersedia di dalam bahasa Arab, China, Prancis, Rusia, dan Spanyol. Pada 26
Maret 2007, dokumen the Yogyakarta
Principles dipresentasikan di depan Dewan Hak Asasi Manusia (Human Rights
Council) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa. The Yogyakarta Principles ini juga mempengaruhi isi deklarasi PBB
tentang orientasi sexual dan identitas gender pada tahun 2008.
The Yogyakarta Principles memuat lingkup yang luas terkait standar-standar hak
asasi manusia dan penerapannya pada isu-isu orientasi sexual dan identitas
gender. The Yogyakarta Principles
menegaskan kewajiban utama negara untuk mengimplementasikan hak asasi manusia.
Setiap poin dari Prinsip tersebut disertai dengan rekomendasi terperinci yang
ditujukan untuk negara. Rekomendasi tambahan juga ditujukan untuk berbagai
aktor, termasuk PBB, lembaga-lembaga HAM nasional, media massa, NGO (LSM), dan para
funding.
Pada bab pendahuluan dokumen
dinyatakan: “Orientasi sexual dan identitas gender bersifat integral bagi
martabat dan perikemanusian setiap orang dan tidak boleh menjadi dasar bagi
diskriminasi ataupun abuse”.
Seiring perkembangan jaman, berbagai
negara dan sistem internasional, termasuk PBB, semakin menampakkan kemajuan di
dalam upaya penciptaan kesetaraan gender dan perlindungan terhadap diskriminasi
gender dan orientasi sexual. Meski demikian, respons internasional terhadap
berbagai pelanggaran berbasis orientasi sexual dan identitas gender masih bersifat
terfragmentasi dan tidak konsisten.
Berbagai pelanggaran atas hak asasi
manusia, yang
dikarenakan orientasi sexual atau identitas gender, masih banyak terjadi, dan hal ini masih merupakan persoalan yang serius. Kontrol
terhadap sexualitas masih merupakan kekuatan utama di balik kekerasan
berbasis-gender dan ketidaksetaraan gender yang terus berlangsung di banyak
negara dan masyarakat.
Oleh karena berbagai persoalan
ini, the Yogya Principles dianggap perlu
bagi suatu pemahaman yang konsisten atas rezim hukum hak asasi manusia
internasional yang komprehensif, serta penerapannya pada isu-isu orientasi
sexual dan identitas gender. Para ahli bersepakat bahwa the Yogyakarta Principles mencerminkan situasi yang ada seputar
hukum HAM internasional yang berkaitan dengan persoalan orientasi sexual dan
identitas gender. The Yogyakarta
Principles menjanjikan suatu masa depan di mana semua orang – yang terlahir
dalam keadaan merdeka dan berkedudukan sama di dalam martabat dan hak-hak asasi
– dapat menikmati hak-hak yang dibawa sejak lahir
tersebut.
Tanggapan dunia internasional
terhadap the Yogyakarta Principles
ini beragam. Termasuk di dalam PBB. Beberapa negara masih menolak the Yogyakarta Principles. Di PBB
sendiri juga masih terjadi perdebatan di antara utusan beberapa negara. Meski
demikian, dokumen the Yogyakarta
Principles telah diadopsi oleh banyak ahli hak asasi manusia dari seluruh
dunia, juga para hakim, akademisi, mantan pejabat PBB, LSM, dll.
Namun, apa yang terjadi di UGM tahun 2006 seolah berkebalikan dengan apa
yang terjadi di UGM pada tahun 2012. UGM tidak memberi izin bagi
terselenggaranya diskusi di CRCS (Pascasarjana) yang direncanakan diadakan 9
Mei 2012, dengan pembicara Irshad Manji, seorang lesbian muslim dari Kanada
penulis buku “Allah, Liberty and Love”.
Irshad Manji sendiri sebenarnya akan berbicara tentang buku yang ditulisnya,
bukan tentang lesbianisme. UGM beralasan pelarangan
tersebut demi
keamanan Irshad Manji. Contoh lain adalah
paranoid yang ditunjukkan oleh panitia Dies Natalis Fisipol UGM ke-60 terkait
poster pementasan teater “Masih Adakah Cinta D(ar)i Kampus Biru” oleh Teater
Gadjah Mada pada Desember 2015 lalu.
Peristiwa 2006 dan 2012 di UGM merupakan salah satu fenomena kontradiktif
dunia akademik – lebih spesifik: dunia sains – di UGM, dan mungkin di Indonesia
secara keseluruhan. Dokumen pengakuan hak-hak terkait orientasi sexual dan
identitas gender yang lahir di UGM tidak diimbangi dengan perkembangan kapasitas
saintifik di lingkungan akademik UGM. Peristiwa tahun 2012 merupakan salah satu
manifestasi kontradiksi tersebut.
Fenomena orientasi sexual dan identitas gender merupakan fakta-fakta natural dan sosial. Dalam konteks institusi
saintifik dan akademik, fenomena-fenomena
tersebut ditempatkan di dalam telaah saintifik. Namun tampaknya UGM mengalami
kemiskinan di dalam dikusi tentang persoala-persoalan ini. UGM seperti
mengalami kemiskinan pembacaan referensi dan kemiskinan imajinasi. Terutama
jurusan filsafat dan biologi. Padahal, fenomena terkait orientasi sexual dan
identitas gender bukan hal baru di nusantara, misal dengan keberadaan Bissu di
Sulawesi Selatan atau Gemblak di Ponorogo Jawa Timur.
Beberapa hari terakhir ini, beberapa spanduk terpasang di beberapa pinggir jalan di Yogyakarta, berisi tulisan anti
LGBT. Sementara itu, sekitar sepuluh tahun yang lalu, di Yogyakarta lahir
dokumen berisi pembelaan hak-hak asasi universal terkait orientasi sexual dan
identitas gender, the Yogyakarta
Principles. Dua hal yang bertentangan di satu kota. Mungkin sebagaimana
slogan kota ini: “Yogya Istimewa”.***
Yogyakarta, 29 Februari
2016.
No comments:
Post a Comment