Monday, March 7, 2016

YOGYAKARTA PRINCIPLES: SUMBANGAN YOGYA UNTUK HAK-HAK ORIENTASI SEXUAL DAN IDENTITAS GENDER DUNIA INTERNASIONAL

Pada tahun 2006, sekelompok ahli-ahli Hak Asasi Manusia (HAM) internasional berkumpul di Yogyakarta untuk menyusun prinsip-prinsip internasional terkait orientasi sexual dan identitas gender. The International Commission of Jurists dan International Service of Human Rights, atas nama koalisi organisasi-organisasi hak asasi manusia, menyelenggarakan suatu proyek untuk menetapkan seperangkat prinsip-prinsip legal internasional atas penerapan hukum internasional pada pelanggaran hak asasi manusia yang didasarkan atas orientasi sexual dan identitas gender.

Seminar internasional tersebut diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada, dari tanggal 6 hinga 9 November 2006. Pertemuan ini menghasilkan apa yang dinamakan sebagai The Yogyakarta Principles: The Application of International Human Rights Law in Relation to Sexual Orientation and Gender Identity (Prinsip-prinsip Yogyakarta: Penerapan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional berkaitan dengan Orientasi Sexual dan Identitas Gender).

Dokumen the Yogyakarta Principles dimaksudkan sebagai panduan universal tentang hak asasi manusia – terkait orientasi sexual dan identitas gender (termasuk Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender: LGBT) – yang menegaskan standar hukum internasional yang mengikat, yang harus dipatuhi oleh semua negara di dunia.

Sebanyak 29 ahli dari 25 negara dengan berbagai latar belakang dan keahlian yang relevan dengan isu-isu hukum hak asasi manusia secara bulat mengadopsi dan menjadi penandatangan the Yogyakarta Principles. Peserta dan penandatangan dari Indonesia adalah Rudi Muhammad Rizki, dosen fakultas hukum Universitas Padjajaran.

Dokumen the Yogyakarta Principles yang setebal 35 halaman tersebut memuat 29 prinsip-prinsip yang diadopsi, dan juga memuat rekomendasi-rekomendasi. Teks dokumen secara resmi ditulis di dalam bahasa Inggris dan versi terjemahan resmi tersedia di dalam bahasa Arab, China, Prancis, Rusia, dan Spanyol. Pada 26 Maret 2007, dokumen the Yogyakarta Principles dipresentasikan di depan Dewan Hak Asasi Manusia (Human Rights Council) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa. The Yogyakarta Principles ini juga mempengaruhi isi deklarasi PBB tentang orientasi sexual dan identitas gender pada tahun 2008.

The Yogyakarta Principles memuat lingkup yang luas terkait standar-standar hak asasi manusia dan penerapannya pada isu-isu orientasi sexual dan identitas gender. The Yogyakarta Principles menegaskan kewajiban utama negara untuk mengimplementasikan hak asasi manusia. Setiap poin dari Prinsip tersebut disertai dengan rekomendasi terperinci yang ditujukan untuk negara. Rekomendasi tambahan juga ditujukan untuk berbagai aktor, termasuk PBB, lembaga-lembaga HAM nasional, media massa, NGO (LSM), dan para funding.

Pada bab pendahuluan dokumen dinyatakan: “Orientasi sexual dan identitas gender bersifat integral bagi martabat dan perikemanusian setiap orang dan tidak boleh menjadi dasar bagi diskriminasi ataupun abuse”.

Seiring perkembangan jaman, berbagai negara dan sistem internasional, termasuk PBB, semakin menampakkan kemajuan di dalam upaya penciptaan kesetaraan gender dan perlindungan terhadap diskriminasi gender dan orientasi sexual. Meski demikian, respons internasional terhadap berbagai pelanggaran berbasis orientasi sexual dan identitas gender masih bersifat terfragmentasi dan tidak konsisten.

Berbagai pelanggaran atas hak asasi manusia, yang dikarenakan orientasi sexual atau identitas gender, masih banyak terjadi, dan hal ini masih merupakan persoalan yang serius. Kontrol terhadap sexualitas masih merupakan kekuatan utama di balik kekerasan berbasis-gender dan ketidaksetaraan gender yang terus berlangsung di banyak negara dan masyarakat.

Oleh karena berbagai persoalan ini, the Yogya Principles dianggap perlu bagi suatu pemahaman yang konsisten atas rezim hukum hak asasi manusia internasional yang komprehensif, serta penerapannya pada isu-isu orientasi sexual dan identitas gender. Para ahli bersepakat bahwa the Yogyakarta Principles mencerminkan situasi yang ada seputar hukum HAM internasional yang berkaitan dengan persoalan orientasi sexual dan identitas gender. The Yogyakarta Principles menjanjikan suatu masa depan di mana semua orang – yang terlahir dalam keadaan merdeka dan berkedudukan sama di dalam martabat dan hak-hak asasi – dapat menikmati hak-hak yang dibawa sejak lahir tersebut.

Tanggapan dunia internasional terhadap the Yogyakarta Principles ini beragam. Termasuk di dalam PBB. Beberapa negara masih menolak the Yogyakarta Principles. Di PBB sendiri juga masih terjadi perdebatan di antara utusan beberapa negara. Meski demikian, dokumen the Yogyakarta Principles telah diadopsi oleh banyak ahli hak asasi manusia dari seluruh dunia, juga para hakim, akademisi, mantan pejabat PBB, LSM, dll.

Namun, apa yang terjadi di UGM tahun 2006 seolah berkebalikan dengan apa yang terjadi di UGM pada tahun 2012. UGM tidak memberi izin bagi terselenggaranya diskusi di CRCS (Pascasarjana) yang direncanakan diadakan 9 Mei 2012, dengan pembicara Irshad Manji, seorang lesbian muslim dari Kanada penulis buku “Allah, Liberty and Love”. Irshad Manji sendiri sebenarnya akan berbicara tentang buku yang ditulisnya, bukan tentang lesbianisme. UGM beralasan pelarangan tersebut demi keamanan Irshad Manji. Contoh lain adalah paranoid yang ditunjukkan oleh panitia Dies Natalis Fisipol UGM ke-60 terkait poster pementasan teater “Masih Adakah Cinta D(ar)i Kampus Biru” oleh Teater Gadjah Mada pada Desember 2015 lalu.

Peristiwa 2006 dan 2012 di UGM merupakan salah satu fenomena kontradiktif dunia akademik – lebih spesifik: dunia sains – di UGM, dan mungkin di Indonesia secara keseluruhan. Dokumen pengakuan hak-hak terkait orientasi sexual dan identitas gender yang lahir di UGM tidak diimbangi dengan perkembangan kapasitas saintifik di lingkungan akademik UGM. Peristiwa tahun 2012 merupakan salah satu manifestasi kontradiksi tersebut.

Fenomena orientasi sexual dan identitas gender merupakan fakta-fakta natural dan sosial. Dalam konteks institusi saintifik dan akademik, fenomena-fenomena tersebut ditempatkan di dalam telaah saintifik. Namun tampaknya UGM mengalami kemiskinan di dalam dikusi tentang persoala-persoalan ini. UGM seperti mengalami kemiskinan pembacaan referensi dan kemiskinan imajinasi. Terutama jurusan filsafat dan biologi. Padahal, fenomena terkait orientasi sexual dan identitas gender bukan hal baru di nusantara, misal dengan keberadaan Bissu di Sulawesi Selatan atau Gemblak di Ponorogo Jawa Timur.

Beberapa hari terakhir ini, beberapa spanduk terpasang di beberapa pinggir jalan di Yogyakarta, berisi tulisan anti LGBT. Sementara itu, sekitar sepuluh tahun yang lalu, di Yogyakarta lahir dokumen berisi pembelaan hak-hak asasi universal terkait orientasi sexual dan identitas gender, the Yogyakarta Principles. Dua hal yang bertentangan di satu kota. Mungkin sebagaimana slogan kota ini: “Yogya Istimewa”.***

Yogyakarta, 29 Februari 2016.

No comments:

Post a Comment