Tuesday, July 26, 2016

HANTU-HANTU BERGENTAYANGAN DI EROPA

Belahan timur benua Eropa. Jumat 15 Juli 2016, militer Turki – terlepas masalah faksi-faksi – melakukan usaha kudeta terhadap pemerintahan Erdogan. Usaha tersebut dapat digagalkan, terutama melalui aksi masyarakat sipil – pendukung maupun bukan pendukung Erdogan – yang turun ke jalan untuk melawan usaha kudeta militer.

Pihak militer pelaku kudeta dan pihak pemerintah Erdogan sama-sama mengaku ingin menyelamatkan demokrasi. Pada saat usaha kudeta berlangsung, pihak militer menyatakan ingin mengembalikan demokrasi yang sejati. Sedangkan pemerintahan Erdogan, tanggal 20 Juli, mengumumkan negara Turki dalam keadaan darurat selama tiga bulan, dan akan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyingkirkan ancaman kelangsungan demokrasi, aturan hukum, hak-hak dan kebebasan warga negara Turki. Juga dari ancaman teroris. Sebagaimana pernyataan Erdogan dalam wawancara dengan Jamal Elshayyal dari Al Jazeera paska kudeta-gagal, apa yang dilakukan pemerintah Erdogan tidak beda dengan apa yang dilakukan Prancis dalam menghadapi ancaman teroris.

Namun, usaha kudeta militer yang gagal dan dukungan demokrasi prosedural atas AKP dan Erdogan – melalui kemenangan di pemilihan umum – dapat digunakan oleh administrasi Erdogan untuk melegitimasi tindakan-tindakan menyingkirkan lawan-lawan politik, termasuk jika harus mengurangi hak-hak demokratik dan kebebasan sipil dengan dalih keadaan darurat selama tiga bulan. Paska kudeta-gagal, Erdogan juga membuka kemungkinan diberlakukannya kembali hukuman mati di Turki yang telah dihapus pada 2004 sebagai syarat untuk bisa menjadi anggota European Union (EU).

Belahan barat benua Eropa. Tanggal 23 Juni 2016, melalui pemungutan suara, lebih banyak masyarakat Inggris yang memutuskan Inggris harus keluar dari EU. Kampanye Brexit menang, yang dieksploitasi oleh kalangan kanan-konservatif Inggris. Kemenangan kubu Brexit juga mendapat kritik, dianggap sebagai kemenangan kubu yang rasis, chauvinis, Islamphobia, dan sektarian.

Keputusan keluarnya Inggris dari EU dibuat oleh rakyat Inggris melalui mekanisme pengambilan suara warga negara Inggris. Sebuah mekanisme demokrasi. Di bawah Theresa May, Perdana Mentri baru dari kubu konservatif yang diangkat 13 Juli lalu, beserta kabinet kanannya, Inggris akan memulai proses pemisahan diri dari EU.

Kemenangan kubu Brexit dan berkuasanya kubu konservatif di Inggris dapat dimanfaatkan oleh kalangan kanan-konservatif di Inggris untuk semakin intensif mengkampanyekan agenda-agenda mereka,  seperti politik anti-imigran, memperkuat politik nasionalis-chauvinis dan kampanye politik sektarian, namun dengan tetap melanjutkan ekonomi kapitalisme tanpa harus berada di dalam EU. Retorika-retorika Theresa May boleh saja bercorak kiri, tapi orang-orang di kabinetnya bercorak kanan.

Sekitar sembilan bulan lalu, menyusul peristiwa serangan Paris November 2015, presiden Prancis Francois Hollande mengatakan “Prancis dalam keadaan perang”. Baru-baru ini, setelah peristiwa Nice, Perdana Mentri Manuel Valls kembali menyatakan bahwa Prancis berada di dalam keadaan perang yang terus berlangsung. Sekitar 120.000 polisi dan tentara disebar di seluruh Prancis untuk berpatroli. Pemerintah Prancis juga menyatakan akan meningkatkan serangan ke Syria dan Iraq untuk melawan kelompok-kelompok teroris.

Terjadi militerisasi di ruang-ruang sipil. Prancis dilingkupi suasana darurat keamanan. Semua ini dilakukan pemerintah Prancis atas nama “keamanan nasional”, perang melawan ancaman teroris. Prancis diperlakukan sebagai di dalam keadaan darurat permanen oleh pemerintah. Penduduk Prancis seolah dikondisikan berada di dalam suasana ketakutan.

Akibatnya, hak-hak demokrasi dan kebebasan warga sipil terancam semakin dibatasi, misalnya ruang-ruang demonstrasi. Hal ini tentu akan merugikan kalangan klas pekerja Prancis yang beberapa waktu terakhir ini sedang mengalami trend kenaikan perlawanan melalui aksi-aksi demonstrasi untuk melawan legislasi yang tidak merakyat, melawan pembatasan hak-hak pekerja, dan melawan kebijakan pengetatan ekonomi anjuran EU.

EU merupakan perpanjangan lebih lanjut dari proyek Bretton Woods (setelah IMF dan IBRD/World Bank) sebagai sebuah proyek neoliberalisme di kawasan Eropa. Akhir Mei lalu, sebuah sayap penelitian di IMF – melalui laporan “Neoliberalism: Oversold?” – mengakui bahwa neoliberalisme telah gagal. Terlepas dari laporan ekonomi tersebut, krisis neoliberalisme melalui proyek EU telah melahirkan meningkatnya politik identitas – dengan arti negatif – dalam rangka persaingan ekonomi.

Terbukanya batas-batas administratif antar negara anggota EU ditujukan untuk semakin mudahnya penetrasi kapital dan komoditas dari satu tempat ke tempat lain tanpa hambatan berarti. Dikuranginya batas-batas administratif antar negara tersebut juga mengakibatkan mobilisasi manusia secara lebih leluasa. Lebih banyak imigran mengalir antar negara, terutama dari negara-negara kurang maju menuju negara-negara lebih maju, bersaing dengan warga lokal, dan tidak jarang justru menyingkirkan tenaga kerja lokal. Politik pasar tenaga kerja murah terjadi.

Dengan situasi tersebut, jika siklus krisis ekonomi datang maka konflik sosial yang diprovokasi oleh sentimen politik identitas (ras, agama, kebangsaan, dll) akan mudah muncul. Kelompok-kelompok konservatif sayap kanan di berbagai negara di Eropa lebih mudah mengkampanyekan agenda-agenda mereka di dalam keadaan krisis ini. Persaingan ekonomi antar negara – yang di dalam doktrin neoliberalisme, negara-negara diasosiasikan sebagai entitas-entitas korporasi yang saling bersaing – juga tidak jarang memanfaatkan politik identitas. Dari politik identitas ke-British-an di Inggris hingga politik identitas Islamis di Turki.

Alasan-alasan soal demokrasi dan politik identitas – jika tidak boleh disebut sektarian (konflik Suni-Syiah) – juga telah digunakan untuk mendestabilisasi rezim Bashar al-Assad di Syria. Konflik yang terjadi di Syria saat ini merupakan bagian dari upaya “regime change” yang diorkestrasi oleh NATO dan negara-negara sekutu di kawasan Timur Tengah, terkait dengan kepentingan dominasi geo-politik kawasan, sumber energi, dan hegemoni dolar Amerika.

Konflik Syria yang berlarut-larut selama sekitar lima tahun ini, serta warisan perang Iraq 2003, telah menciptakan suatu kawasan yang subur bagi berseminya kelompok-kelompok militan bersenjata, misal ISIS. Kelompok-kelompok tersebut kemudian juga mengekspor ideologi serta serangan mereka secara sporadis ke berbagai negara, terutama ke Eropa, seperti serangan Paris, Brusel, dan bandara Istanbul belum lama ini.

Ekspor ideologi dan aksi teror ke Eropa tersebut kemudian dijadikan ancaman bagi nilai-nilai demokrasi dan kebebasan Eropa. Namun, demokrasi yang memenangkan Brexit di Inggris dan demokrasi yang memenangkan Erdogan di Turki juga tidak disukai oleh banyak anggota EU. Sementara, kebebasan kapital dan tenaga kerja yang dibawa oleh neoliberalisme EU tidak jarang memunculkan politik sektarian dengan naiknya kampanye kalangan kanan-konservatif di beberapa negara Eropa. Apakah status “keadaan perang Prancis” dan “demokrasi Brexit-Erdogan” akan menjalar ke negara-negara Eropa lainnya? Hantu-hantu sedang bergentayangan di Eropa.***

Yogyakarta, 21 Juli 2016

No comments:

Post a Comment