Belahan timur benua Eropa. Jumat 15 Juli 2016, militer Turki
– terlepas masalah faksi-faksi – melakukan usaha kudeta terhadap pemerintahan
Erdogan. Usaha tersebut dapat digagalkan, terutama melalui aksi masyarakat
sipil – pendukung maupun bukan pendukung Erdogan – yang turun ke jalan untuk
melawan usaha kudeta militer.
Pihak militer pelaku kudeta dan pihak pemerintah Erdogan
sama-sama mengaku ingin menyelamatkan demokrasi. Pada saat usaha kudeta
berlangsung, pihak militer menyatakan ingin mengembalikan demokrasi yang
sejati. Sedangkan pemerintahan Erdogan, tanggal 20 Juli, mengumumkan negara
Turki dalam keadaan darurat selama tiga bulan, dan akan mengambil
tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyingkirkan ancaman kelangsungan
demokrasi, aturan hukum, hak-hak dan kebebasan warga negara Turki. Juga dari ancaman
teroris. Sebagaimana pernyataan Erdogan dalam wawancara dengan Jamal Elshayyal
dari Al Jazeera paska kudeta-gagal, apa yang dilakukan pemerintah Erdogan tidak
beda dengan apa yang dilakukan Prancis dalam menghadapi ancaman teroris.
Namun, usaha kudeta militer yang gagal dan dukungan
demokrasi prosedural atas AKP dan Erdogan – melalui kemenangan di pemilihan
umum – dapat digunakan oleh administrasi Erdogan untuk melegitimasi
tindakan-tindakan menyingkirkan lawan-lawan politik, termasuk jika harus mengurangi
hak-hak demokratik dan kebebasan sipil dengan dalih keadaan darurat selama tiga
bulan. Paska kudeta-gagal, Erdogan juga membuka kemungkinan diberlakukannya
kembali hukuman mati di Turki yang telah dihapus pada 2004 sebagai syarat untuk
bisa menjadi anggota European Union (EU).
Belahan barat benua Eropa. Tanggal 23 Juni 2016, melalui
pemungutan suara, lebih banyak masyarakat Inggris yang memutuskan Inggris harus
keluar dari EU. Kampanye Brexit menang, yang dieksploitasi oleh kalangan
kanan-konservatif Inggris. Kemenangan kubu Brexit juga mendapat kritik,
dianggap sebagai kemenangan kubu yang rasis, chauvinis, Islamphobia, dan
sektarian.
Keputusan keluarnya Inggris dari EU dibuat oleh rakyat
Inggris melalui mekanisme pengambilan suara warga negara Inggris. Sebuah
mekanisme demokrasi. Di bawah Theresa May, Perdana Mentri baru dari kubu
konservatif yang diangkat 13 Juli lalu, beserta kabinet kanannya, Inggris akan
memulai proses pemisahan diri dari EU.
Kemenangan kubu Brexit dan berkuasanya kubu konservatif di
Inggris dapat dimanfaatkan oleh kalangan kanan-konservatif di Inggris untuk semakin
intensif mengkampanyekan agenda-agenda mereka,
seperti politik anti-imigran, memperkuat politik nasionalis-chauvinis
dan kampanye politik sektarian, namun dengan tetap melanjutkan ekonomi kapitalisme tanpa harus berada di dalam EU. Retorika-retorika Theresa May boleh
saja bercorak kiri, tapi orang-orang di kabinetnya bercorak kanan.
Sekitar sembilan bulan lalu, menyusul peristiwa serangan
Paris November 2015, presiden Prancis Francois Hollande mengatakan “Prancis
dalam keadaan perang”. Baru-baru ini, setelah peristiwa Nice, Perdana Mentri
Manuel Valls kembali menyatakan bahwa Prancis berada di dalam keadaan perang
yang terus berlangsung. Sekitar 120.000 polisi dan tentara disebar di seluruh
Prancis untuk berpatroli. Pemerintah Prancis juga menyatakan akan meningkatkan
serangan ke Syria dan Iraq untuk melawan kelompok-kelompok teroris.
Terjadi militerisasi di ruang-ruang sipil. Prancis
dilingkupi suasana darurat keamanan. Semua ini dilakukan pemerintah Prancis
atas nama “keamanan nasional”, perang melawan ancaman teroris. Prancis diperlakukan
sebagai di dalam keadaan darurat permanen oleh pemerintah. Penduduk Prancis seolah
dikondisikan berada di dalam suasana ketakutan.
Akibatnya, hak-hak demokrasi dan kebebasan warga sipil terancam
semakin dibatasi, misalnya ruang-ruang demonstrasi. Hal ini tentu akan merugikan
kalangan klas pekerja Prancis yang beberapa waktu terakhir ini sedang mengalami
trend kenaikan perlawanan melalui aksi-aksi demonstrasi untuk melawan legislasi
yang tidak merakyat, melawan pembatasan hak-hak pekerja, dan melawan kebijakan
pengetatan ekonomi anjuran EU.
EU merupakan perpanjangan lebih lanjut dari proyek Bretton Woods
(setelah IMF dan IBRD/World Bank) sebagai sebuah proyek neoliberalisme di
kawasan Eropa. Akhir Mei lalu, sebuah sayap penelitian di IMF – melalui laporan
“Neoliberalism: Oversold?” – mengakui bahwa neoliberalisme telah gagal. Terlepas
dari laporan ekonomi tersebut, krisis neoliberalisme melalui proyek EU telah
melahirkan meningkatnya politik identitas – dengan arti negatif – dalam rangka persaingan
ekonomi.
Terbukanya batas-batas administratif antar negara anggota EU
ditujukan untuk semakin mudahnya penetrasi kapital dan komoditas dari satu
tempat ke tempat lain tanpa hambatan berarti. Dikuranginya batas-batas
administratif antar negara tersebut juga mengakibatkan mobilisasi manusia
secara lebih leluasa. Lebih banyak imigran mengalir antar negara, terutama dari
negara-negara kurang maju menuju negara-negara lebih maju, bersaing dengan
warga lokal, dan tidak jarang justru menyingkirkan tenaga kerja lokal. Politik
pasar tenaga kerja murah terjadi.
Dengan situasi tersebut, jika siklus krisis ekonomi datang
maka konflik sosial yang diprovokasi oleh sentimen politik identitas (ras,
agama, kebangsaan, dll) akan mudah muncul. Kelompok-kelompok konservatif sayap
kanan di berbagai negara di Eropa lebih mudah mengkampanyekan agenda-agenda
mereka di dalam keadaan krisis ini. Persaingan ekonomi antar negara – yang di dalam
doktrin neoliberalisme, negara-negara diasosiasikan sebagai entitas-entitas
korporasi yang saling bersaing – juga tidak jarang memanfaatkan politik
identitas. Dari politik identitas ke-British-an di Inggris hingga politik
identitas Islamis di Turki.
Alasan-alasan soal demokrasi dan politik identitas – jika
tidak boleh disebut sektarian (konflik Suni-Syiah) – juga telah digunakan untuk
mendestabilisasi rezim Bashar al-Assad di Syria. Konflik yang terjadi di Syria
saat ini merupakan bagian dari upaya “regime
change” yang diorkestrasi oleh NATO dan negara-negara sekutu di kawasan
Timur Tengah, terkait dengan kepentingan dominasi geo-politik kawasan, sumber
energi, dan hegemoni dolar Amerika.
Konflik Syria yang berlarut-larut selama sekitar lima tahun
ini, serta warisan perang Iraq 2003, telah menciptakan suatu kawasan yang subur
bagi berseminya kelompok-kelompok militan bersenjata, misal ISIS.
Kelompok-kelompok tersebut kemudian juga mengekspor ideologi serta serangan
mereka secara sporadis ke berbagai negara, terutama ke Eropa, seperti serangan
Paris, Brusel, dan bandara Istanbul belum lama ini.
Ekspor ideologi dan aksi teror ke Eropa tersebut kemudian
dijadikan ancaman bagi nilai-nilai demokrasi dan kebebasan Eropa. Namun,
demokrasi yang memenangkan Brexit di Inggris dan demokrasi yang memenangkan Erdogan
di Turki juga tidak disukai oleh banyak anggota EU. Sementara, kebebasan kapital
dan tenaga kerja yang dibawa oleh neoliberalisme EU tidak jarang memunculkan
politik sektarian dengan naiknya kampanye kalangan kanan-konservatif di
beberapa negara Eropa. Apakah status “keadaan perang Prancis” dan “demokrasi
Brexit-Erdogan” akan menjalar ke negara-negara Eropa lainnya? Hantu-hantu sedang
bergentayangan di Eropa.***
Yogyakarta, 21 Juli 2016
Yogyakarta, 21 Juli 2016
No comments:
Post a Comment