Tuesday, October 11, 2016

AHOK DAN ANTI-AHOK: KONSISTENSI DAN KONSEKUENSI


Di depan sebagian warga Kepulauan Seribu (27/9), Ahok menyinggung ayat di dalam kitab suci yang dianggapnya sering digunakan oleh lawan-lawan politiknya di dalam kaitannya dengan politik kepala daerah. Peristiwa ini memiliki arti bahwa Ahok telah membawa doktrin agama masuk ke dalam politik. Hanya saja, Ahok melibatkan doktrin agama  ke dalam politik dengan cara terbalik.

Ahok menempatkan dirinya sebagai korban politisasi doktrin agama, politisasi ayat-ayat kitab suci. Oleh Ahok, doktrin agama bukan digunakan untuk menyerang lawan politik secara langsung. Ahok memposisikan diri sebagai korban dari penyalahgunaan doktrin agama. Disengaja atau tidak, Ahok sedang melakukan playing victim.

Ahok selama ini menginginkan agar Pilkada Jakarta tidak membawa isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Namun, ucapan Ahok – terkait pemakaian doktrin agama oleh lawan politik untuk menyerang dirinya – sebenarnya merupakan bentuk lain dari tindakan memasukkan isu Agama ke dalam politik. Ahok telah menanggapi isu doktrin agama yang dilontarkan oleh lawan politiknya, dan hal ini berarti bahwa Ahok telah membawa isu Agama ke dalam politik.

Dengan demikian, Ahok tidak konsisten dengan apa yang dikehendakinya, yakni bahwa Pilkada Jakarta bersih dari isu SARA. Ahok berkontradiksi dengan himbauannya sendiri.

Sementara itu, sebagian kaum agamawan anti Ahok – dalam hal ini Islam – sering mengkampanyekan kewajiban bagi orang-orang Islam untuk memilih pemimpin yang beragama Islam. Tidak terkecuali dalam Pilkada Jakarta. Seruan tersebut didasarkan pada doktrin-doktrin agama, terutama di dalam kitab suci. Oleh sebagian kaum agamawan anti Ahok tersebut, doktrin-doktrin agama dibawa masuk ke dalam politik untuk digunakan sebagai pedoman berpolitik, dalam hal ini pemilihan kepala daerah Jakarta.

Sebagian kaum agamawan anti Ahok menganggap pernyataan Ahok – tentang surat Al Maidah – merupakan bentuk penistaan atau pelecehan agama. Beberapa di antara mereka berencana melaporkan Ahok ke polisi dengan tuduhan telah melakuan tindak pidana. Ahok dianggap telah melakukan penistaan agama, meski keberadaan undang-undang penistaan agama itu sendiri masih diperdebatkan.

Para anti Ahok tersebut sebenarnya tidak konsekuen. Artinya, mereka tidak mau menerima konsekuensi atas tindakan yang mereka lakukan di dalam politik. Di satu sisi, mereka membawa doktrin-doktrin agama ke dalam politik, untuk dijadikan panduan politik Pilkada Jakarta dalam bentuk seruan memilih pemimpin yang seagama. Di sisi lain, mereka marah dan berniat mempidanakan Ahok ketika Ahok menanggapi doktrin-doktrin agama  yang mereka bawa masuk ke politik tersebut.

Sejarah Abad Pertengahan di Eropa telah memperlihatkan tentang bagaimana doktrin-doktrin agama di dalam kitab suci dikritik, bahkan terjadi proses desakralisasi ayat-ayat kitab suci.  Doktrin-doktrin agama tersebut digunakan untuk menetapkan pengetahuan di bidang alam, yakni bahwa matahari dianggap bergerak mengelilingi bumi karena kitab suci mengatakan demikian – terlepas dari masalah beragam tafsir kitab suci. Doktrin-doktrin kitab suci yang berhubungan dengan fenomena alam tersebut kemudian tanggapi oleh sains, yakni dibantah dan dikritik. Termasuk diolok-olok. Tanggapan-tanggapan ini merupakan konsekuensi atas dilibatkannya kitab suci di dalam menetapkan pengetahuan tentang alam, dan di sisi lain terjadi perkembangan pikiran manusia.

Di dalam politik, ada orang yang menggunakan data-data ekonomi sebagai dasar argumen politik yang ia kemukakan. Argumen dan data-data ekonomi tersebut kemudian akan ditanggapi oleh pihak lawan politik orang tersebut dengan berbagai cara, baik itu sanggahan, bantahan, kritik, bahkan termasuk cacian dan bully.

Demikian pula jika seseorang menggunakan doktrin-doktrin agama sebagai dasar argumen politik, maka para lawan politik juga akan menanggapi doktrin-doktrin agama tersebut dengan berbagai cara, baik itu sanggahan, bantahan, kritikan, dan bahkan tidak tertutup kemungkinan juga termasuk cacian dan bully. Oleh karena itu, akan menjadi aneh ketika tanggapan-tanggapan tersebut kemudian diperlakukan sebagai tindak pidana penistaan agama.

Jika kaum agamawan anti Ahok tidak ingin doktrin-doktrin agama dikritik, bahkan “dinistakan” atau “dilecehkan”, maka mereka sebaiknya tidak membawa doktrin-doktrin agama ke dalam politik, misal dijadikan dasar argumen tentang memilih pemimpin yang seagama. Dunia politik adalah dunia saling serang. Suatu argumen akan dikritik dan diserang oleh argumen lain. Argumen yang dilandaskan pada doktrin-doktrin agama juga tidak akan luput dari kritik dan serangan.

Demikian pula bagi Ahok. Jika Ahok benar-benar menghendaki agar Pilkada Jakarta bersih dari isu SARA, maka ia seharusnya tidak membawa isu doktrin agama – termasuk dalam bentuk tanggapan panjang-lebar atas penggunaan doktrin agama oleh lawan-lawan politiknya – ke dalam posisi apapun. Baik itu untuk menyerang, bertahan, ataupun mencari simpati masyarakat dengan cara playing victim.

Namun, Ahok dan sebagian kaum agamawan anti Ahok telah sama-sama membawa doktrin-doktrin agama masuk ke dalam politik, meski dengan cara yang berbeda. Ahok tidak konsisten dengan ucapannya. Sebagian kaum agamawan anti Ahok tidak konsekuen, tidak mau menerima konsekuensi atas tindakan mereka.

No comments:

Post a Comment