Di depan sebagian warga Kepulauan Seribu (27/9), Ahok menyinggung ayat di
dalam kitab suci yang dianggapnya sering digunakan oleh lawan-lawan politiknya di
dalam kaitannya dengan politik kepala daerah. Peristiwa ini memiliki arti bahwa
Ahok telah membawa doktrin agama masuk ke dalam politik. Hanya saja, Ahok melibatkan
doktrin agama ke dalam politik dengan
cara terbalik.
Ahok menempatkan dirinya sebagai korban politisasi doktrin
agama, politisasi ayat-ayat kitab suci. Oleh Ahok, doktrin agama bukan
digunakan untuk menyerang lawan politik secara langsung. Ahok memposisikan diri
sebagai korban dari penyalahgunaan doktrin agama. Disengaja atau tidak, Ahok
sedang melakukan playing victim.
Ahok selama ini menginginkan agar Pilkada Jakarta tidak
membawa isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Namun, ucapan Ahok – terkait
pemakaian doktrin agama oleh lawan politik untuk menyerang dirinya – sebenarnya
merupakan bentuk lain dari tindakan memasukkan isu Agama ke dalam politik. Ahok
telah menanggapi isu doktrin agama yang dilontarkan oleh lawan politiknya, dan
hal ini berarti bahwa Ahok telah membawa isu Agama ke dalam politik.
Dengan demikian, Ahok tidak konsisten dengan apa yang
dikehendakinya, yakni bahwa Pilkada Jakarta bersih dari isu SARA. Ahok
berkontradiksi dengan himbauannya sendiri.
Sementara itu, sebagian kaum agamawan anti Ahok – dalam hal
ini Islam – sering mengkampanyekan kewajiban bagi orang-orang Islam untuk
memilih pemimpin yang beragama Islam. Tidak terkecuali dalam Pilkada Jakarta.
Seruan tersebut didasarkan pada doktrin-doktrin agama, terutama di dalam kitab
suci. Oleh sebagian kaum agamawan anti Ahok tersebut, doktrin-doktrin agama
dibawa masuk ke dalam politik untuk digunakan sebagai pedoman berpolitik, dalam
hal ini pemilihan kepala daerah Jakarta.
Sebagian kaum agamawan anti Ahok menganggap pernyataan Ahok –
tentang surat Al Maidah – merupakan bentuk
penistaan atau pelecehan agama. Beberapa di antara mereka berencana melaporkan
Ahok ke polisi dengan tuduhan telah melakuan tindak pidana. Ahok dianggap telah
melakukan penistaan agama, meski keberadaan undang-undang penistaan agama itu
sendiri masih diperdebatkan.
Para anti Ahok tersebut sebenarnya tidak konsekuen. Artinya,
mereka tidak mau menerima konsekuensi atas tindakan yang mereka lakukan di
dalam politik. Di satu sisi, mereka membawa doktrin-doktrin agama ke dalam
politik, untuk dijadikan panduan politik Pilkada Jakarta dalam bentuk seruan
memilih pemimpin yang seagama. Di sisi lain, mereka marah dan berniat
mempidanakan Ahok ketika Ahok menanggapi doktrin-doktrin agama yang mereka bawa masuk ke politik tersebut.
Sejarah Abad Pertengahan di Eropa telah memperlihatkan
tentang bagaimana doktrin-doktrin agama di dalam kitab suci dikritik, bahkan
terjadi proses desakralisasi ayat-ayat kitab suci. Doktrin-doktrin agama tersebut digunakan
untuk menetapkan pengetahuan di bidang alam, yakni bahwa matahari dianggap
bergerak mengelilingi bumi karena kitab suci mengatakan demikian – terlepas dari
masalah beragam tafsir kitab suci. Doktrin-doktrin kitab suci yang berhubungan
dengan fenomena alam tersebut kemudian tanggapi oleh sains, yakni dibantah dan
dikritik. Termasuk diolok-olok. Tanggapan-tanggapan ini merupakan konsekuensi
atas dilibatkannya kitab suci di dalam menetapkan pengetahuan tentang alam, dan
di sisi lain terjadi perkembangan pikiran manusia.
Di dalam politik, ada orang yang menggunakan data-data
ekonomi sebagai dasar argumen politik yang ia kemukakan. Argumen dan data-data
ekonomi tersebut kemudian akan ditanggapi oleh pihak lawan politik orang
tersebut dengan berbagai cara, baik itu sanggahan, bantahan, kritik, bahkan
termasuk cacian dan bully.
Demikian pula jika seseorang menggunakan doktrin-doktrin
agama sebagai dasar argumen politik, maka para lawan politik juga akan
menanggapi doktrin-doktrin agama tersebut dengan berbagai cara, baik itu
sanggahan, bantahan, kritikan, dan bahkan tidak tertutup kemungkinan juga
termasuk cacian dan bully. Oleh karena itu, akan menjadi aneh ketika
tanggapan-tanggapan tersebut kemudian diperlakukan sebagai tindak pidana
penistaan agama.
Jika kaum agamawan anti Ahok tidak ingin doktrin-doktrin
agama dikritik, bahkan “dinistakan” atau “dilecehkan”, maka mereka sebaiknya
tidak membawa doktrin-doktrin agama ke dalam politik, misal dijadikan dasar
argumen tentang memilih pemimpin yang seagama. Dunia politik adalah dunia
saling serang. Suatu argumen akan dikritik dan diserang oleh argumen lain.
Argumen yang dilandaskan pada doktrin-doktrin agama juga tidak akan luput dari
kritik dan serangan.
Demikian pula bagi Ahok. Jika Ahok benar-benar menghendaki
agar Pilkada Jakarta bersih dari isu SARA, maka ia seharusnya tidak membawa isu
doktrin agama – termasuk dalam bentuk tanggapan panjang-lebar atas penggunaan doktrin
agama oleh lawan-lawan politiknya – ke dalam posisi apapun. Baik itu untuk
menyerang, bertahan, ataupun mencari simpati masyarakat dengan cara playing victim.
Namun, Ahok dan sebagian kaum agamawan anti Ahok telah
sama-sama membawa doktrin-doktrin agama masuk ke dalam politik, meski dengan
cara yang berbeda. Ahok tidak konsisten dengan ucapannya. Sebagian kaum
agamawan anti Ahok tidak konsekuen, tidak mau menerima konsekuensi atas
tindakan mereka.
No comments:
Post a Comment