Friday, January 13, 2017

SERATUS TAHUN REVOLUSI OKTOBER

Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno berpidato di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Coosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) – yang kemudian dikenal sebagai pidato “Lahirnya Pancasila”. Berdasar penggambaran yang terdapat di pidato Soekarno tersebut, pada waktu itu masih ada beberapa kalangan di antara pemimpin rakyat yang mengalami kegentaran ketika dihadapkan pada kesempatan untuk menyusun kemerdekaan bagi Indonesia. Kata Soekarno:

“Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: kita ini berani merdeka atau tidak?”


Pada bagian-bagian awal pidatonya, Soekarno berusaha menyakinkan para peserta sidang tentang pentingnya kemerdekaan Indonesia secepatnya, juga makna kemerdekaan itu sendiri. Soekarno menyinggung pengalaman kemerdekaan beberapa negara lain, seperti Arab Saudi, Amerika, dan sebagainya, termasuk Rusia. Soal Rusia, demikian kata Soekarno:

“Lihatlah pula – jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat – Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat Soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh juta rakyat Rusia, adalah rakyat Musjik (petani – pen.) yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan negara Indonesia Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!”

Soekarno berusaha membesarkan hati orang-orang yang hadir di sidang tersebut:

“Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff, dam yang maha besar di sungai Djeneppr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan jelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya tuan-tuan punya semangat – jikalau tuan-tuan demikian – dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 juta banyaknya. Dua juta pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 juta pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang!”

Pada tahun 1917, Rusia mengalami dua kali revolusi. Pertama, di bulan Februari, terjadi revolusi borjuis demokratis. Di nusantara, ISDV (Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia) – dengan juru bicara Sneevliet – menyambut revolusi tersebut dengan tulisan berjudul “Zegepraal” yang dimuat di harian “De Indier”, harian “Insulinde” yang dipimpin oleh Tjipto Mangunkusumo. ISDV menyerukan agar rakyat di nusantara mengambil pelajaran dari revolusi tersebut dalam rangka perjuangan kemerdekaan. Kedua, di bulan Oktober, berlangsung revolusi sosialis, yang kemudian menciptakan negara Soviet Rusia. Revolusi Oktober ini semakin membangkitkan semangat serta menambah kesadaran rakyat di berbagai tanah jajahan – termasuk di nusantara – bahwa kekuasaan kolonial bisa ditumbangkan.

Pada tahun 1922, negara Uni Soviet (Union of Soviet Socialist Republics) terbentuk, sebagai gabungan dari beberapa republik-republik sosialis. Namun, pada akhir era 1970an, kegagalan ekonomi, berbagai kesulitan dan masalah mulai bertumpuk dan memburuk di Uni Soviet. Meminjam istilah Mikhail Gorbachev, Uni Soviet mulai kehilangan momentum. Di ambang krisis. Partai (PKUS) kemudian merespon situasi tersebut. Melalui Rapat Paripurna Komite Pusat di bulan April 1985 – di bawah Sekretaris Jendral yang baru, Gorbachev – diluncurkan strategi perestroika (restrukturisasi). Selain perestroika, reformasi Gorbachev lainnya adalah glasnost (keterbukaan) dan uskorenie (akselerasi).

Di dalam bukunya yang berjudul “Perestroika: Pemikiran Baru untuk Negara Kami dan Dunia”, yang diterbitkan tahun 1987, Gorbachev – pemimpin terakhir Uni Soviet – mengatakan:

“Kaum pekerja, petani, dan kalangan intelektual, para pejabat Partai, baik di pusat maupun di daerah, merenungkan situasi yang dihadapi negara kami. Semua semakin meyadari bahwa keadaan seperti itu tidak boleh berlangsung lebih lama lagi. Kebingungan dan kejengkelan naik meluap karena nilai-nilai luhur yang dilahirkan oleh Revolusi Oktober dan perjuangan heroik untuk sosialisme sedang diinjak-injak.”

Gorbachev juga mengatakan:

“Dan gagasan persestroika tidak hanya didorong oleh kepentingan dan pertimbangan pragmatis, tetapi juga oleh hati nurani kami yang resah, oleh komitmen yang gigih terhadap cita-cita yang telah kami warisi dari Revolusi Oktober dan sebagai hasil pencarian teoretis yang memberi kepada kami pengetahuan lebih baik mengenai masyarakat, serta memperkuat kebulatan tekad kami untuk terus melangkah maju.”

Perestroika itu sendiri secara ideologis diklaim sebagai bersumber pada ajaran Lenin. Mewarisi semangat Revolusi Besar. Kata Gorbachev:

“Dalam rangkaian restrukturisasi kami sedang memperluas dan memperjelas paham kami tentang hari kemarin, hari ini, dan hari esok sosialisme. Kami sedang menemukan diri kami sekali lagi. Seperti sudah saya katakan, ini sudah dan sedang dilaksanakan, bukan untuk menangkap imajinasi, juga tidak untuk “memperoleh afeksi”, ataupun untuk memenangkan tepuk tangan. Kami dimotivasi oleh gagasan Revolusi Oktober 1917, gagasan Lenin, dan kepentingan rakyat Uni Soviet.”

Di tahun-tahun selanjutnya, keadaan Uni Soviet semakin memburuk. Perubahan besar yang terjadi kemudian adalah justru bubarnya Uni Soviet. Pada tahun 1991, Uni Soviet bubar dan Soviet Rusia berubah menjadi negara Federasi Rusia. Perestroika gagal menyelamatkan Soviet Rusia hasil ciptaan Revolusi Oktober.

Sekitar dua setengah bulan setelah Soekarno menyampaikan pidato “Lahirnya Pancasila” 1 Juni 1945, negara Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, yang kemudian juga dikenal sebagai Revolusi Agustus 1945. Selanjutnya, paska 1965 – ketika Soekarno secara de facto kehilangan kekuasaan politik – pemikiran-pemikiran Lenin dilarang di Indonesia semenjak tahun 1966 melalui TAP MPRS No. XXV/1966. Pemikiran-pemikiran yang sedikit banyak telah turut mewarnai pemikiran politik Soekarno, sehingga pada saat menyampaikan pidato “Lahirnya Pancasila”, Soekarno merasa perlu menyertakan pengalaman Lenin dan Rusia.

Revolusi Oktober 1917 di Rusia dan Revolusi Agustus 1945 di Indonesia sama-sama terjadi di dalam suasana pergolakan perang dunia. Revolusi Oktober 1917 dilingkupi suasana Perang Dunia I, dan Revolusi Agustus 1945 dilingkupi suasana Perang Dunia II. Kedua perang dunia tersebut merupakan perang imperialisme. Lenin sendiri memiliki kontribusi penting bagi diskursus pemikiran politik dan ekonomi terkait persoalan seputar imperialisme di era kapitalisme. Kata Lenin, imperialisme adalah tahap tertinggi dari kapitalisme.

Tahun ini, seratus tahun setelah Revolusi 1917, apakah dunia sudah terbebas dari imperialisme?***

Januari 2017


PUSTAKA

Gorbachev, Mikhail. 1992. Perestroika: Pemikiran Baru Untuk Negara Kami dan Dunia. Jakarta: P.T. Gelora Aksara Pratama. (Diterjemahkan dari: Perestroika, New Thinking for Our Country and the World. Penterjemah: Boesoni Sondakh).

Soekarno. Tanpa Tahun. “Pidato Bung Karno tanggal 1 Djuni 1945”. Di dalam TUBAPI, Tudjuh Bahan-bahan Pokok Indoktrinasi. Bandung: C.V. Dua R.