Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno berpidato di depan sidang
Dokuritsu Zyunbi Coosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) – yang
kemudian dikenal sebagai pidato “Lahirnya Pancasila”. Berdasar penggambaran yang
terdapat di pidato Soekarno tersebut, pada waktu itu masih ada beberapa
kalangan di antara pemimpin rakyat yang mengalami kegentaran ketika dihadapkan
pada kesempatan untuk menyusun kemerdekaan bagi Indonesia. Kata Soekarno:
“Saudara-saudara, soalnya adalah
demikian: kita ini berani merdeka atau tidak?”
Pada bagian-bagian awal pidatonya, Soekarno berusaha menyakinkan para peserta sidang tentang
pentingnya kemerdekaan Indonesia secepatnya, juga makna kemerdekaan itu sendiri.
Soekarno menyinggung pengalaman kemerdekaan beberapa negara lain, seperti Arab
Saudi, Amerika, dan sebagainya, termasuk Rusia. Soal Rusia, demikian kata
Soekarno:
“Lihatlah pula – jikalau
tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat – Soviet Rusia! Pada masa Lenin
mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat Soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh
juta rakyat Rusia, adalah rakyat Musjik
(petani – pen.) yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis;
bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller,
tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan
negara Soviet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan negara Indonesia
Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!”
Soekarno berusaha membesarkan hati orang-orang yang hadir di
sidang tersebut:
“Adakah Lenin ketika dia
mendirikan negara Soviet Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff, dam
yang maha besar di sungai Djeneppr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai
kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap
orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia Merdeka telah dapat
membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas
yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche,
baru mengadakan Djnepprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada
tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah
mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan jelimet, dan kalau sudah selesai, baru
kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya tuan-tuan punya semangat – jikalau tuan-tuan
demikian – dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 juta banyaknya. Dua juta
pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 juta pemuda ini semua berhasrat
Indonesia Merdeka Sekarang!”
Pada tahun 1917, Rusia mengalami dua kali revolusi. Pertama,
di bulan Februari, terjadi revolusi borjuis demokratis. Di nusantara, ISDV
(Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia) – dengan juru bicara Sneevliet –
menyambut revolusi tersebut dengan tulisan berjudul “Zegepraal” yang dimuat di harian “De Indier”, harian “Insulinde”
yang dipimpin oleh Tjipto Mangunkusumo. ISDV menyerukan agar rakyat di
nusantara mengambil pelajaran dari revolusi tersebut dalam rangka perjuangan
kemerdekaan. Kedua, di bulan Oktober, berlangsung revolusi sosialis, yang
kemudian menciptakan negara Soviet Rusia. Revolusi Oktober ini semakin
membangkitkan semangat serta menambah kesadaran rakyat di berbagai tanah
jajahan – termasuk di nusantara – bahwa kekuasaan kolonial bisa ditumbangkan.
Pada tahun 1922, negara Uni Soviet (Union of Soviet Socialist Republics) terbentuk, sebagai gabungan
dari beberapa republik-republik sosialis. Namun, pada akhir era 1970an,
kegagalan ekonomi, berbagai kesulitan dan masalah mulai bertumpuk dan memburuk
di Uni Soviet. Meminjam istilah Mikhail Gorbachev, Uni Soviet mulai kehilangan
momentum. Di ambang krisis. Partai (PKUS) kemudian merespon situasi tersebut. Melalui
Rapat Paripurna Komite Pusat di bulan April 1985 – di bawah Sekretaris Jendral
yang baru, Gorbachev – diluncurkan strategi perestroika
(restrukturisasi). Selain perestroika,
reformasi Gorbachev lainnya adalah glasnost
(keterbukaan) dan uskorenie
(akselerasi).
Di dalam bukunya yang berjudul “Perestroika: Pemikiran Baru
untuk Negara Kami dan Dunia”, yang diterbitkan tahun 1987, Gorbachev – pemimpin
terakhir Uni Soviet – mengatakan:
“Kaum pekerja, petani, dan
kalangan intelektual, para pejabat Partai, baik di pusat maupun di daerah,
merenungkan situasi yang dihadapi negara kami. Semua semakin meyadari bahwa
keadaan seperti itu tidak boleh berlangsung lebih lama lagi. Kebingungan dan
kejengkelan naik meluap karena nilai-nilai luhur yang dilahirkan oleh Revolusi
Oktober dan perjuangan heroik untuk sosialisme sedang diinjak-injak.”
Gorbachev juga mengatakan:
“Dan gagasan persestroika tidak
hanya didorong oleh kepentingan dan pertimbangan pragmatis, tetapi juga oleh
hati nurani kami yang resah, oleh komitmen yang gigih terhadap cita-cita yang
telah kami warisi dari Revolusi Oktober dan sebagai hasil pencarian teoretis
yang memberi kepada kami pengetahuan lebih baik mengenai masyarakat, serta
memperkuat kebulatan tekad kami untuk terus melangkah maju.”
Perestroika itu
sendiri secara ideologis diklaim sebagai bersumber pada ajaran Lenin. Mewarisi
semangat Revolusi Besar. Kata Gorbachev:
“Dalam rangkaian restrukturisasi
kami sedang memperluas dan memperjelas paham kami tentang hari kemarin, hari
ini, dan hari esok sosialisme. Kami sedang menemukan diri kami sekali lagi.
Seperti sudah saya katakan, ini sudah dan sedang dilaksanakan, bukan untuk menangkap
imajinasi, juga tidak untuk “memperoleh afeksi”, ataupun untuk memenangkan tepuk
tangan. Kami dimotivasi oleh gagasan Revolusi Oktober 1917, gagasan Lenin, dan
kepentingan rakyat Uni Soviet.”
Di tahun-tahun selanjutnya, keadaan Uni Soviet semakin
memburuk. Perubahan besar yang terjadi kemudian adalah justru bubarnya Uni
Soviet. Pada tahun 1991, Uni Soviet bubar dan Soviet Rusia berubah menjadi
negara Federasi Rusia. Perestroika
gagal menyelamatkan Soviet Rusia hasil ciptaan Revolusi Oktober.
Sekitar dua setengah bulan setelah Soekarno menyampaikan
pidato “Lahirnya Pancasila” 1 Juni 1945, negara Indonesia diproklamasikan pada
17 Agustus 1945, yang kemudian juga dikenal sebagai Revolusi Agustus 1945. Selanjutnya,
paska 1965 – ketika Soekarno secara de
facto kehilangan kekuasaan politik – pemikiran-pemikiran Lenin dilarang di
Indonesia semenjak tahun 1966 melalui TAP MPRS No. XXV/1966. Pemikiran-pemikiran
yang sedikit banyak telah turut mewarnai pemikiran politik Soekarno, sehingga
pada saat menyampaikan pidato “Lahirnya Pancasila”, Soekarno merasa perlu
menyertakan pengalaman Lenin dan Rusia.
Revolusi Oktober 1917 di Rusia dan Revolusi Agustus 1945 di
Indonesia sama-sama terjadi di dalam suasana pergolakan perang dunia. Revolusi
Oktober 1917 dilingkupi suasana Perang Dunia I, dan Revolusi Agustus 1945
dilingkupi suasana Perang Dunia II. Kedua perang dunia tersebut merupakan
perang imperialisme. Lenin sendiri memiliki kontribusi penting bagi diskursus
pemikiran politik dan ekonomi terkait persoalan seputar imperialisme di era
kapitalisme. Kata Lenin, imperialisme adalah tahap tertinggi dari kapitalisme.
Tahun ini, seratus tahun setelah Revolusi 1917, apakah dunia
sudah terbebas dari imperialisme?***
Januari 2017
PUSTAKA
Gorbachev,
Mikhail. 1992. Perestroika: Pemikiran
Baru Untuk Negara Kami dan Dunia. Jakarta: P.T. Gelora Aksara Pratama.
(Diterjemahkan dari: Perestroika, New Thinking for Our Country and the World.
Penterjemah: Boesoni Sondakh).
Soekarno.
Tanpa Tahun. “Pidato Bung Karno tanggal 1 Djuni 1945”. Di dalam TUBAPI, Tudjuh Bahan-bahan Pokok Indoktrinasi.
Bandung: C.V. Dua R.