Pemahaman
dasar tentang gambar-dunia (world picture) yang dimiliki oleh banyak
kebudayaan kuno di kawasan Mediterania dan sekitarnya didominasi – meski tidak
semua – oleh anggapan bumi datar dengan kubah langit yang melengkung di
atasnya. Di kubah langit tersebut, terdapat benda-benda angkasa yang bergerak
sepanjang cakrawala.
Di
dalam salah satu versi pemahaman masyarakat Mesir Kuno disebutkan bahwa langit
adalah Tuhan Nut (wanita, goddess) yang berada dalam posisi berdiri
membungkuk, menelungkup – posisi melengkung – di atas bumi datar atau Tuhan Geb
(pria, god).
Di
dalam epik Enuma Elish yang dimiliki oleh masyarakat Babilonia (sekitar awal milenium kedua SM), salah satu kebudayaan
Mesopotamia, dikisahkan bahwa setelah Marduk membunuh Tiamat, Marduk kemudian
membelah tubuh Tiamat menjadi dua – mungkin seperti belah ikan yang sedang
dikeringkan. Setengah bagian tubuh Tiamat dijadikan kubah langit dan
setengahnya lagi dijadikan bumi.
Masih
di sekitar Mediterania, tradisi Israel (agama-agama Ibrahim) masih diwarnai
anggapan bumi datar dari kebudayaan-kebudayaan sebelumnya, namun telah
menanggalkan sosok-sosok bumi dan langit sebagai personal (tuhan).
Pada
masyarakat Yunani Kuno, konsepsi dasar tentang gambar-dunia yang mereka miliki
tidak jauh berbeda dari konsepsi-konsepsi yang telah ada pada
kebudayaan-kebudayaan masyarakat kuno di kawasan Mediterania, baik sebelum
maupun sejaman dengan mereka. Misal, sebagaimana yang dikisahkan oleh Hesiodos
(sekitar tahun 8oo SM). Bumi datar (Gaia) dilingkupi oleh langit (Ouranos).
Bumi dikelilingi oleh laut (Okeanos).
Namun,
sekitar abad 6 SM, di Yunani muncul para saintis awal yang menggunakan
pendekatan berbeda dalam memahami dan menjelaskan dunia yang mereka alami.
Penggunaan istilah “saintis” di sini tentu tetap perlu disesuaikan dengan
konteksnya. Bagaimanapun, ada satu unsur gambar-dunia di kebudayaan-kebudayaan
kuno yang tetap bertahan hingga ke para saintis awal di Yunani, yakni konsepsi
bumi datar (plateia).
Hingga
hari ini, tidak banyak karya tulis yang masih utuh dari para saintis awal
Yunani Kuno. Meski demikian, fragmen-fragmen pemikiran mereka dapat ditemukan
pada literatur-literatur yang ditulis oleh, di antaranya, Aristoteles dan para doxographer
yang mencatat pemikiran-pemikiran para saintis awal tersebut. Aristoteles
sendiri menyebut para saintis awal tersebut sebagai fusikos (jamak: fusikoi),
yang berbeda terhadap kalangan theologoi (orang-orang yang membawakan
kisah tentang tuhan dan keagamaan, termasuk kisah kosmogoni).
Menurut
Aristoteles, teori paling tua dari para saintis Yunani adalah pemikiran Thales
(± 624-546 SM). Aristoteles mengkisahkan bahwa
menurut Thales bumi tetap berada pada posisinya. Bumi berada di atas air, bukan
di atas udara. Bumi mengapung seperti kayu, atau sejenisnya, di atas air
(Aristotle, 1970, De Caelo: 294a28). Keterangan Aristoteles soal Thales
yang tidak eksplisit menyatakan bumi datar ini kemudian menimbulkan perdebatan
soal bentuk bumi menurut Thales.
Anaximandros
(± 610-545 SM), saintis lainnya yang dikisahkankan oleh
Aristoteles, memiliki pandangan bahwa bumi tetap berdiam di tempatnya, tidak
bergerak ke atas, ke bawah, ataupun ke samping (Aristotle, 1970, De Caelo:
295b10). Sementara itu, Hippolytus (DK 12A11) berpendapat bahwa Anaximandros
memiliki pandangan tentang bumi yang berbentuk seperti kolum [silinder].
Permukaan bumi adalah datar dan kita berjalan di atasnya. Anaximandros juga
dipercaya pernah membuat peta bumi dan laut, dan mungkin juga peta langit
(Diogenes Laertius, DK 12A1). Bagaimanapun, kita tetap perlu hati-hati dalam
menerima pernyataan para doxographer tentang Anaximandros ini.
Namun,
terkait pandangan bahwa bumi berbentuk datar, Aristoteles secara eksplisit
menyebut tiga nama, yakni Anaximenes (± 570-500 SM), Anaxagoras (± 500-428 SM), dan Demokritos (± 460-370 SM). Ketiganya – yakni
Anaximenes, Anaxagoras, dan Demokritos – dinyatakan memiliki konsepsi tentang
bumi yang datar. Bentuk datar bumi tersebut adalah penyebab mengapa bumi tetap diam di tempatnya, yakni di atas
udara. Dengan bentuknya yang datar, bumi tidak memotong udara, melainkan
menutupi udara yang ada di bawahnya (Aristotle, 1970, De Caelo: 294b14).
Salah
satu capaian penting dari abstraksi para saintis Yunani yang dilandasi
pemahaman bumi datar adalah karya pikir Euklides (fl. 300 SM) di bidang
matematika, yakni geometri Euklid atau geometri sistem koordinat datar.
Geometri Euklid menggunakan asumsi bidang datar, bukan bidang melengkung, atau
dapat dikatakan bumi permukaan datar, bukan bumi permukaan melengkung (bola).
Geometri Euklid ini sampai sekarang masih digunakan, kecuali jika dihadapkan
pada kasus geometri tak-Euklid di mana seluruh aturan geometri Euklid menjadi
tidak berlaku.
Banyak
kalangan saintis awal di Yunani Kuno maupun kalangan theolog di
kebudayaan-kebudayaan kuno di kawasan Mediterania memiliki gambaran tentang
bumi yang tidak jauh berbeda, yakni bumi permukaan datar. Mereka telah
sama-sama mencoba menghadirkan gambar-dunia tentang bumi di mana mereka hidup.
Gambar-dunia tentang bumi permukaan datar tersebut dapat dikatakan sebagai
pernyataan intelektual di jaman mereka, yang berarti pula sebagai refleksi
keadaan jaman saat itu berkaitan dengan fase tertentu perkembangan teknologi
dan pengetahuan.
Meskipun
sebagian besar dari saintis maupun theolog jaman kuno memodelkan bumi dalam ide
dasar yang sama, yakni permukaan datar, namun terdapat perbedaan di antara
mereka di dalam cara hingga sampai pada kesimpulan dan menjelaskan model
tersebut. Para theolog menggunakan pendekatan supranatural, sedangkan para
saintis awal Yunani Kuno menggunakan pendekatan natural. Ini adalah perbedaan
penting antara kalangan theologoi terhadap kalangan fusikoi.
Namun,
pendekatan naturalistik para saintis awal Yunani tersebut lebih banyak
menggunakan spekulasi logis-matematis (meski sederhana jika dalam ukuran
sekarang) serta analogi observasional daripada observasi menyeluruh. Objek yang
mereka hadapi, yakni bentuk utuh bumi, di luar jangkauan observasi menyeluruh
para saintis awal Yunani dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan teknologi
yang dimiliki oleh orang-orang Yunani Kuno. Oleh karena itu, bisa dimaklumi
jika para saintis awal tersebut sampai pada kesimpulan bahwa permukaan bumi
berbentuk datar, tidak melengkung.***
No comments:
Post a Comment