Sunday, March 19, 2017

BUNUH DIRI


Jawab singkat “Ya” atau “Tidak”.
Selama satu bulan terakhir ini, apakah anda:
1. Berpikir bahwa lebih baik mati, atau ingin mati?
2. Ingin mencederai diri sendiri?
3. Berpikir untuk bunuh diri?
4. Punya rencana untuk bunuh diri?
5. Pernah mencoba bunuh diri?

Selama hidup anda:
6. Apakah anda pernah mencoba untuk bunuh diri?


Sepuluh tahun yang lalu, ketika Fakultas Kedokteran UGM mengadakan penelitian kesehatan mental masyarakat, saya turut membantu di lapangan pada saat itu. Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan bagian dari pertanyaan yang diajukan di dalam penelitian kesehatan mental tersebut. Salah satu bagian dari penelitian tersebut memang menyinggung soal bunuh diri.

Bunuh diri bukan fenomena baru. Berbagai kejadian bunuh diri dengan beragam latar belakangnya telah terjadi di sepanjang masa dan di berbagai tempat, berbagai umur dan jenis kelamin. Bunuh diri karena alasan relijius, seperti pengorbanan nyawa manusia dalam ritual tertentu. Karena ketidakharmonisan hubungan cinta, seperti di Jakarta, Jumat lalu (17/3) yang diunggah di facebook. Karena kesetiaan cinta, seperti sati (suttee) di India jaman dahulu. Karena hukuman yang dijatuhkan oleh penguasa, seperti sepuku di Jepang, yang oleh masyarakat awam dikenal sebagai harakiri. Karena asas utilitarian, seperti pulung-gantung di Gunung Kidul, Yogyakarta. Karena perjuangan theologis, seperti bom jihad. Karena patriotisme, seperti kamikaze di Perang Dunia II. Dan lain-lain, dan sebagainya.

Penjelasan agama-agama populer saat ini soal bunuh diri mungkin telah sering didengar. Agama-agama populer saat ini memiliki pandangan sinis, atau malah negatif, terhadap bunuh diri. Kecuali beberapa argumen yang fatalistik, bunuh diri dengan alasan atas nama atau demi Tuhan. Namun, argumen-argumen fatalistik tersebut dapat juga disanggah melalui argumen fatalistik yang lain, yakni takdir: bahwa semua apa yang terjadi di alam – termasuk hidup dan mati manusia – telah ditakdirkan oleh Tuhan, bahkan sebelum alam dan manusia itu sendiri ada. Cara hidup dan mati manusia telah ditentukan (ditakdirkan) oleh Tuhan sebelum manusia itu sendiri dilahirkan. Ditakdirkan mati karena penyakit kanker, karena kecelakaan lalu lintas, dan termasuk karena bunuh diri.

Psikoanalisa juga berusaha memberi penjelasan soal fenomena bunuh diri. Insting kehidupan, insting kematian, proses tekanan, super-ego, merupakan sebagian dari istilah-istilah yang digunakan di dalam psikoanalisa untuk menjelaskan proses-proses mental manusia, termasuk ketika seseorang memutuskan untuk melanjutkan kehidupan atau sebaliknya mengakhiri kehidupan dengan cara bunuh diri.

Di beberapa negara, terutama Eropa Barat, hak untuk bunuh diri dijamin oleh hukum. Praktek mengakhiri hidup diri sendiri dengan sengaja ini dikenal dengan istilah “euthanasia”. Kata Yunani “eu” berarti [dengan] baik, dan “thanatos” berarti kematian. Namun, apakah memang ada hak untuk bunuh diri? Apakah benar-benar ada hak untuk hidup dan hak untuk mati? Hak dalam arti sesungguhnya, bukan kiasan.

Pada peristiwa kehadiran manusia di kehidupan, manusia tidak punya kuasa atas potensi kehadirannya di kehidupan tersebut. Sebelum peristiwa kehadiran di kehidupan tersebut terjadi, manusia tidak punya pilihan. Ketika seseorang dilahirkan – atau diadakan kehidupannya – ia dihadirkan begitu saja tanpa persetujuan dari orang bersangkutan tersebut. Tidak ditanya terlebih dahulu.

Pada persitiwa ditinggalkannya kehidupan, untuk kematian, manusia sebenarnya tidak benar-benar tidak memiliki kuasa. Kecuali peristiwa kematian “natural”. Dalam batas-batas tertentu, manusia memiliki kemampuan membuat keputusan: meneruskan atau menghentikan kehidupan. Meneruskan kehidupan berarti berjuang untuk hidup. Sedangkan menghentikan kehidupan berarti melakukan bunuh diri, apapun cara dan alasannya. Meski ada beberapa kasus bunuh diri yang gagal, tetapi manusia sebenarnya masih memiliki potensi pilihan untuk meneruskan kehidupan atau menghentikan kehidupan.

Bagi Albert Camus, persoalan bunuh diri menjadi salah satu tema penting. Menurut Camus, kehidupan manusia adalah absurd. Namun, tidak ada jalan lain kecuali menerima absurditas tersebut. Bunuh diri dan pembunuhan adalah godaan-godaan yang ada pada absurditas.  Hanya saja, dengan bunuh diri maka seseorang menjadi menyerah pada absurditas. Sedangkan pembunuhan hanya akan menyebabkan bertambahnya absurditas dan penderitaan orang yang tidak bersalah. Keduanya menuju nihilisme. Maka, menurut Camus, absurditas perlu dilawan dengan: pemberontakan. Manusia pemberontak.

Anda memilih yang mana?

No comments:

Post a Comment