Jawab singkat “Ya” atau “Tidak”.
Selama satu bulan terakhir ini, apakah anda:
1. Berpikir bahwa lebih baik mati, atau ingin mati?
2. Ingin mencederai diri sendiri?
3. Berpikir untuk bunuh diri?
4. Punya rencana untuk bunuh diri?
5. Pernah mencoba bunuh diri?
Selama hidup anda:
6. Apakah anda pernah mencoba untuk bunuh diri?
Sepuluh tahun yang lalu, ketika Fakultas Kedokteran UGM mengadakan
penelitian kesehatan mental masyarakat, saya turut membantu di lapangan pada
saat itu. Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan bagian dari pertanyaan yang
diajukan di dalam penelitian kesehatan mental tersebut. Salah satu bagian dari
penelitian tersebut memang menyinggung soal bunuh diri.
Bunuh diri bukan fenomena baru. Berbagai kejadian bunuh diri
dengan beragam latar belakangnya telah terjadi di sepanjang masa dan di
berbagai tempat, berbagai umur dan jenis kelamin. Bunuh diri karena alasan
relijius, seperti pengorbanan nyawa manusia dalam ritual tertentu. Karena ketidakharmonisan
hubungan cinta, seperti di Jakarta, Jumat lalu (17/3) yang diunggah di facebook.
Karena kesetiaan cinta, seperti sati (suttee) di India jaman dahulu. Karena
hukuman yang dijatuhkan oleh penguasa, seperti sepuku di Jepang, yang oleh
masyarakat awam dikenal sebagai harakiri. Karena asas utilitarian, seperti
pulung-gantung di Gunung Kidul, Yogyakarta. Karena perjuangan theologis,
seperti bom jihad. Karena patriotisme, seperti kamikaze di Perang Dunia II. Dan
lain-lain, dan sebagainya.
Penjelasan agama-agama populer saat ini soal bunuh diri
mungkin telah sering didengar. Agama-agama populer saat ini memiliki pandangan
sinis, atau malah negatif, terhadap bunuh diri. Kecuali beberapa argumen yang
fatalistik, bunuh diri dengan alasan atas nama atau demi Tuhan. Namun, argumen-argumen
fatalistik tersebut dapat juga disanggah melalui argumen fatalistik yang lain,
yakni takdir: bahwa semua apa yang terjadi di alam – termasuk hidup dan mati
manusia – telah ditakdirkan oleh Tuhan, bahkan sebelum alam dan manusia itu
sendiri ada. Cara hidup dan mati manusia telah ditentukan (ditakdirkan) oleh
Tuhan sebelum manusia itu sendiri dilahirkan. Ditakdirkan mati karena penyakit
kanker, karena kecelakaan lalu lintas, dan termasuk karena bunuh diri.
Psikoanalisa juga berusaha memberi penjelasan soal fenomena
bunuh diri. Insting kehidupan, insting kematian, proses tekanan, super-ego,
merupakan sebagian dari istilah-istilah yang digunakan di dalam psikoanalisa
untuk menjelaskan proses-proses mental manusia, termasuk ketika seseorang
memutuskan untuk melanjutkan kehidupan atau sebaliknya mengakhiri kehidupan
dengan cara bunuh diri.
Di beberapa negara, terutama Eropa Barat, hak untuk bunuh
diri dijamin oleh hukum. Praktek mengakhiri hidup diri sendiri dengan sengaja
ini dikenal dengan istilah “euthanasia”. Kata Yunani “eu” berarti [dengan] baik,
dan “thanatos” berarti kematian. Namun, apakah memang ada hak untuk bunuh diri?
Apakah benar-benar ada hak untuk hidup dan hak untuk mati? Hak dalam arti
sesungguhnya, bukan kiasan.
Pada peristiwa kehadiran manusia di kehidupan, manusia tidak
punya kuasa atas potensi kehadirannya di kehidupan tersebut. Sebelum peristiwa
kehadiran di kehidupan tersebut terjadi, manusia tidak punya pilihan. Ketika seseorang
dilahirkan – atau diadakan kehidupannya – ia dihadirkan begitu saja tanpa
persetujuan dari orang bersangkutan tersebut. Tidak ditanya terlebih dahulu.
Pada persitiwa ditinggalkannya kehidupan, untuk kematian,
manusia sebenarnya tidak benar-benar tidak memiliki kuasa. Kecuali peristiwa
kematian “natural”. Dalam batas-batas tertentu, manusia memiliki kemampuan
membuat keputusan: meneruskan atau menghentikan kehidupan. Meneruskan kehidupan
berarti berjuang untuk hidup. Sedangkan menghentikan kehidupan berarti
melakukan bunuh diri, apapun cara dan alasannya. Meski ada beberapa kasus bunuh
diri yang gagal, tetapi manusia sebenarnya masih memiliki potensi pilihan untuk
meneruskan kehidupan atau menghentikan kehidupan.
Bagi Albert Camus, persoalan bunuh diri menjadi salah satu
tema penting. Menurut Camus, kehidupan manusia adalah absurd. Namun, tidak ada
jalan lain kecuali menerima absurditas tersebut. Bunuh diri dan pembunuhan
adalah godaan-godaan yang ada pada absurditas.
Hanya saja, dengan bunuh diri maka seseorang menjadi menyerah pada
absurditas. Sedangkan pembunuhan hanya akan menyebabkan bertambahnya absurditas
dan penderitaan orang yang tidak bersalah. Keduanya menuju nihilisme. Maka,
menurut Camus, absurditas perlu dilawan dengan: pemberontakan. Manusia
pemberontak.
Anda memilih yang mana?
No comments:
Post a Comment