Saturday, December 9, 2017

KEJAHATAN

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sedang terbelit kasus korupsi. Bukan kelas ringan, karena ia seorang pemimpin lembaga tinggi negara, sebagai bagian kekuasaan politik. Seolah menyusul pembesar-pembesar lainnya di negeri ini, seperti ketua Mahkamah Konstitusi dan beberapa ketua umum partai politik yang juga terjerat kasus korupsi beberapa waktu lalu. Bahkan, mantan presiden RI kedua, Soeharto, disebut dalam Tap MPR XI/MPR/1998 soal pengusutan kasus korupsi.

Korupsi itu sendiri dianggap sebagai kejahatan luar biasa sehingga diperlukan lembaga khusus – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – untuk menanganinya.

Berbagai peristiwa kejahatan terjadi di sekitar kita. Kapan saja dan di mana saja. Bahkan termasuk di tempat ibadah, yang disebut sebagai tempat suci. “Rumah Tuhan” pun tidak steril dari kejahatan. Seperti pencurian alas kaki atau sepeda motor milik jemaat yang sedang berdoa di dalam rumah ibadah.

Kejahatan juga dilakukan oleh manusia dari berbagai tingkat umur, berbagai ras dan etnik, berbagai keyakinan spiritual (termasuk agama), serta tak mengenal jenis kelamin. Kejahatan dilakukan secara individual maupun berkelompok. Bahkan juga terdapat kejahatan yang dilakukan “secara sah,” yakni melalui legitimasi sebuah kekuasaan formal masyarakat (negara).

Setiap masyarakat manusia memiliki definisi tentang kejahatan beserta aturan-aturan terkait sesuatu yang telah didefinisikan sebagai kejahatan tersebut. Aturan keagamaan, aturan moral maupun atural legal. Ganjaran dan hukuman disematkan di sana.

Setiap masyarakat di setiap jaman juga memiliki masing-masing rasionalisasi penjelasan, mitos-mitos simbolik, untuk menerangkan persoalan kejahatan. Termasuk penjelasan tentang sebab-sebab, sumber-sumber dan latar belakang terjadinya kejahatan. Penjelasan-penjelasan tentang kejahatan tersebut, sesederhana apapun itu, merupakan bagian dari ikhtiar manusia di dalam menghadapi persoalan di dalam kehidupan.

Masyarakat Yunani Kuno memiliki cerita khaos dan kosmos yang menjelaskan tentang kebaikan dan kejahatan di alam semesta. Epos India Kuno menjabarkan pertarungan kebaikan dan kejahatan ke dalam cerita Mahabarata dan Ramayana. Di dalam keyakinan agama-agama Ibrahim, kejahatan manusia dilakukan pertama kali oleh Adam dan Hawa ketika memakan buah terlarang di taman Eden (atau taman firdaus). Demikian pula masyarakat-masyarakat jaman kuno lainnya, memiliki kisah masing-masing.

Sebagian masyarakat jaman kuno juga ada yang mengkaitkan kejahatan dengan angka nol. Angka nol identik dengan kekosongan dan ketiadaan, yang berarti pula kekacauan. Mereka percaya bahwa sebelum alam diciptakan, yang ada hanyalah kekosongan dan kekacauan. Orang Babilonia menganggap angka nol yang dibiarkan sendirian akan selalu berbuat jahat (Seife, 2008).

Berdasar pengalaman dan pemahaman manusia secara terun-temurun terhadap kegelapan, maka kemudian kegelapan diidentikkan dengan kejahatan. Banyak pengalaman manusia generasi-generasi terdahulu lebih sering menemui bahaya di malam hari, terutama ketika mereka belum menemukan teknik pembuat cahaya. Mereka mengalami hal-hal yang menimbulkan ketakutan di malam hari daripada di siang hari.

Pada kenyataannya, kejahatan bisa terjadi kapan saja, malam maupun siang. Apalagi jika kejahatan tersebut telah melibatkan sistem dan teknologi modern yang mutakhir. Misalnya kejahatan perbankan, kejahatan melalui internet, dan lain sebagainya. Modus dan teknik kejahatan bisa berubah dan berkembang sepanjang zaman. Pelaku kejahatan juga dapat bersifat individu maupun kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat pelaku kejahatan ini pun dapat dibedakan menjadi formal dan non formal.

Terdapat anggapan bahwa kejahatan kadang-kadang hanya dirasakan seseorang secara subyektif, karena apa yang dianggap kejahatan tersebut belum tentu dianggap kejahatan pula oleh orang lain. Hal yang absolut dan hal yang relatif hadir di sini. Di dalam keadaan normal, pembunuhan dianggap sebagai perbuatan jahat. Namun menjadi relatif sifatnya jika pembunuhan terjadi di medan perang, atau pada suatu eksekusi hukuman mati yang dilakukan oleh aparat negara berdasar undang-undang negara bersangkutan, di sebuah negara yang melegalkan hukuman mati.

Sementara, kejahatan yang terkait dengan kekuasaan politik (negara), bersifat lebih rumit karena melibatkan pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga negara. Beberapa kejahatan dilakukan dengan cara memanfaatkan celah-celah hukum yang ada. Kejahatan juga ada yang dilakukan dengan cara membungkus suatu tindakan kejahatan dengan hukum atau dilekatkan sebagai bagian dari hukum itu sendiri. Selain itu, terdapat juga kemungkinan kejahatan yang terjadi dikarenakan bertautan dengan jabatan.

Bahkan, suatu kejahatan kemanusiaan yang luar biasa dapat dianggap bukan sebagai tindakan kejahatan dikarenakan kekuasaan politik (negara) tidak mengkategorikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Seperti praktek perbudakan manusia di era perbudakan jaman dahulu, yang tidak dianggap sebagai tindakan kejahatan.

Praktek perbudakan manusia di jaman dahulu berkaitan dengan sistem masyarakat yang sedang berlaku. Sistem perekonomian membagi masyarakat tersebut secara struktural, menjadi klas-klas sosial, terutama budak dan pemilik budak. Kejahatan struktural bersifat sistemik dan kompleks, melibatkan kekuasaan politik. Selain itu, kejahatan struktural secara dialektik saling membentuk dengan kejahatan yang sifatnya hegemoni kultural, yang merupakan kekerasan dan penindasan psikis.

Paul Ricouer menyebutkan bahwa manusia bisa salah (falibility) merupakan prasyarat terjadinya kejahatan. Kemudian, manusia menyimbolkan kejahatan ke dalam noda, dosa, dan kebersalahan, sebagai simbolisasi primer pengalaman kejahataan manusia. Sedangkan simbolisasi sekunder berupa mitos-mitos tentang kejahatan. Menurut Ricouer, mitos-mitos tentang kejahatan berfungsi: pertama, menyediakan universalitas konkret pengalaman manusia tentang kejahatan. Kedua, cerita awal mula dan kesudahan kejahatan akan membawa orientasi dan ketegangan dramatis hidup manusia yang merupakan sejarah kebinasaan dan keselamatan. Dan ketiga, mitos kejahatan menjelaskan peralihan keadaan tak berdosa ke keadaan noda, dosa, dan kebersalahan (Bertens, 1996: 262-271).

No comments:

Post a Comment